Menyelami Action-based Training

Jika ada pertanyaan “Apakah Anda pernah mengikuti training?”, maka hampir pasti Anda akan menjawab ya – entah itu berupa in house training yang dilakukan secara internal, ataupun mengikuti training publik yang diselenggarakan oleh pihak eksternal. Bagi banyak perusahaan, training atau pelatihan karyawan memang telah menjadi salah satu elemen vital bagi proses pengembangan kompetensi sumber daya manusia mereka. Bahkan, sejumlah besar perusahaan mengalokasikan investasi yang relatif besar untuk mendidik dan melatih karyawan mereka.

Namun jika kita amati, sebagian besar kegiatan training yang dilakukan masih menganut metode konvensional yang didominasi dengan pola pengajaran di ruang-ruang kelas (class-room lecture). Dalam metode ini, selama sekitar 2 atau 3 hari, para instruktur akan menyampaikan sejumlah konsep, dan biasanya kemudian diikuti dengan aktivitas diskusi kelompok, role play atau latihan kasus (case exercise) guna membangkitkan partisipasi para peserta. Kita tahu, metode ini hanya akan efektif jika segera ditindaklanjuti dengan kegiatan pasca training untuk mendorong dan memonitor proses aplikasi materi training dalam pekerjaan sehari-hari.

Sayangnya, banyak pengelola training yang alpa untuk mengerjakan kegiatan pasca training ini dengan penuh kesungguhan. Padahal, justru dorongan dan monitoring yang kontinyu-lah yang akan memastikan dampak positif training terhadap kinerja karyawan. Sebaliknya, tanpa ada upaya tindak lanjut yang sistematis dan terprogram, maka materi training-training di ruang kelas selama 2 – 3 hari, akan mudah “menguap” hanya dalam hitungan bulan. Karena itu, tak heran jika sebuah riset menyebutkan training di ruang kelas yang tidak diikuti dengan tindak lanjut memiliki efektivitas yang rendah, hanya berkisar 30 % manfaatnya.

Didorong oleh kenyataan semacam itu, maka akhir-akhir ini berkembang inisiatif baru untuk melakukan apa yang disebut sebagai action-based training atau training yang berbasis pada aksi, yang memiliki filosofi dan metode yang berbeda dengan metode training konvensional. Terdapat beberapa ciri yang diusung oleh metode action-based training ini. Yang pertama, kegiatan training ini biasanya dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu 6 hingga 12 bulan. Selama rentang waktu itu, para peserta bertemu tiap 2 atau 4 minggu sekali – masing-masing selama 2 – 4 jam. Melalui pertemuan yang berlangsung secara kontinyu ini diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang intensif dan berkesinambungan.

Ciri kedua yang juga amat menonjol dari metode ini adalah bahwa materi training harus didasarkan pada kasus nyata dan problem riil yang dihadapi oleh para peserta dalam pekerjaannya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa training ini disebut sebagai action-based training. Selanjutnya, para peserta diharuskan merumuskan projek atau aksi nyata (real action) sebagai solusi atas kasus atau problem riil tersebut.

Pada tahap berikutnya, para peserta juga diharuskan mengimplementasikan projek atau aksi nyata tersebut. Melalui pertemuan-pertemuan rutin setiap 2 – 4 minggu sekali, instruktur akan melakukan monitoring proses implementasi projek tersebut – dan sekaligus membagi lesson learning yang dialami para peserta selama proses implementasi. Lesson learning yang dibagikan menyangkut misalnya, bagaimana kerjasama tim (teamwork skills) dalam proses implementasi, bagaimana mereka berkomunikasi (communication skills) satu dengan yang lainnya, atau bagaimana mereka menyusun dan mengalokasikan tugas (planning and organizing). Jadi, mereka belajar mengenai ketrampilan komunikasi, kerjasama tim, dan lain lain, tidak melalui konsep atau teori belaka; namun melalui ‘pengalaman riil’ ketika mereka berproses mengimplementasikan projek atau action plan yang mereka kerjakan. Pendekatan semacam ini berangkat dari keyakinan bahwa peserta akan belajar dengan lebih efektif melalui pengalaman nyata (real experiences) daripada melalui ceramah-ceramah di ruang kelas.

Ciri lain yang juga menonjol dari metode ini adalah komitmen dan keterlibatan aktif para peserta, serta juga para atasannya masing-masing. Harus dicermati, bahwa projek atau aksi riil yang disusun dan diimplementasikan para peserta bisa jadi harus melibatkan otoritas lintas-fungsi; oleh karena itu, komitmen dari pihak manajemen untuk mendukung proses ini amat diperlukan.

Tentu saja, proses kegiatan action-based training ini lebih membutuhkan energi dan kerja keras dari pihak pengelola training; dibanding sekedar menyelenggarakan training 2 – 3 hari di ruang-ruang kelas yang terisolasi dari problem riil dilapangan. Namun, riset menunjukkan bahwa metode training semacam ini jauh lebih efektif dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja para peserta. Sekarang pilihannya tergantung pada Anda : mau terus menerus berkutat pada metode training konvensional, atau mulai bergerak untuk melakukan action-based training?

~
Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai management skills, strategy, marketing dan HR management, silakan datang KESINI.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

8 thoughts on “Menyelami Action-based Training”

  1. Salah satu mengapa bisnis kami terus progress adalah melaksanakan action based training, kami menyebutnya post course. ada tiga tahapan dalam pelaksanaan training; pre course-course-post course. kami sudah 14 tahun melakukan hal tersebut, jadi bukanlah hal baru, tentunya bagi kami. kami setuju dengan action based training, karena itu-lah yang seharusnya menjadi tindak lanjut setelah training.

  2. Wah bagus sekali pengalaman Mas Iwan. Mungkin suatu saat Mas Iwan perlu sharing dengan para praktisi SDM mengenai pengalamannya menerapkan semacam action-based training. Sebab, menurut pengamatan saya, praktek action-based ini tampaknya masih jarang dilakukan.

  3. Saya juga setuju sekali dengan action based training dan tentunya dengan pengukuran efektifitas training yang dapat dipertanggungjawawabkan. Perusahaan kami juga sudah melakukannya sejak awal kami terjun ke dunia training, namun kenyataan di lapangan banyak klien yang justru tidak siap ketika kita sodori kontrak sampai dengan monitoring selama sekian waktu dengan alasan keterbatasan anggaran. Kemudian hal lain yang kami temuia di lapangan banyak juga klien yang tidak dapat mengikuti proses pengukuran efektifitas training dan monitoring. Contoh yang pernah kami temui adalah ketika pre test fase 0 kami jalankan (2 minggu – 1 bulan sebelum training) yang seharusnya hasilnya dikirim pada kami paling tidak 1 minggu sebelum training ternyata banyak juga yang malah sampai saat pelaksanaan training belum di buat, padahal saat mulai pelaksanaan training harusnya masuk ke pre test fase 1 yang bertujuan mengukur base line peserta yang valid dengan membanding kan hasil fase 0 dan fase 1. Juga saat post test , yang bisa di kerjakan peserta hanya saat akhir training saja (fase 2). Ketika kami hendak melakukan monitoring dan post test fase 3 yang dilaksanakan 2 minggu – 1 bulan setelah training dengan tujuan melihat seberapa jauh penyerapan peserta akan materi training dan implementasinya di dalam pekerjaannya dengan cara membandingkan post test fase 2 dengan fase 4, ternyata juga tidak semua klien dapat melaksanakannya. Padahal ini kita dedikasikan agar investasi yang dikeluarkan klien tidak sia sia (gone with the wind). Bahkan sekalipun monitoring tersebut saya tawarkan gratis tanpa biaya tambahan, banyak klien yang ngga siap.

    Namun begitu, kami tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi klien dengan cara melakukan edukasi pada klien akan pentingnya pengukuran efektifitas dan monitoring sebab training harus selalu dipandang sebagai investasi dan setiap investasi harus menghasilkan revenue.

    Salam Sukses

    Michael Antony Ugiono
    https://amphibious75.multiply.com

  4. # Michael, inisiatif yang Anda lakukan itu sangat bagus. Ya, kita memang harus juga mengedukasi klien untuk lebih tekun dalam melakoni proses training ini.

    JAdi ndak hanya memakai metode “hit and run approach” saja — bikin training, setelah itu ya sudah….ndak ada tindak lanjutnya sama sekali.

  5. Bp Yodia Bgm caranya saya bisa bergabung dg blog ini via subscribe, stlh sy coba sesuai dengan petunjuk ko ga bsa2, terus disruh type huruf sandi,trus terang sy sangat respect n apreciate dg topik2 yg disajikan, triam kasih sebelumnya atas infonya

  6. keren artikelnya 🙂

    menarik memang ketika membahas action based training yang tentu saja akan memberikan manfaat yg melimpah bagi banyak pihak

Comments are closed.