Modern Slavery, Zombie Employees dan Kepuasan Kerja

Secara normal, para pekerja kantoran menghabiskan waktu hingga 40 jam per minggu untuk menekuni pekerjaannya (banyak pegawai di sejumlah perusahan bahkan yang mesti harus melewati 60 jam kehidupan per minggunya dalam ruangan kantor). Sebuah durasi waktu yang teramat panjang, dan acap meletihkan. Sebab itu, alangkah tragisnya jika dalam jejak waktu yang panjang itu kita gagal mereguk kepuasan kerja yang optimal.

Tanpa dimensi kepuasan kerja, proses kerja nan meletihkan itu bisa membuat kita terperangkap dalam modern slavery (saya cukup terhenyak ketika pernah melihat slogan dalam sebuah t-shirt yang berbunyi begini : Being An Employee is Like Modern Slavery…..). Lalu elemen apa saja yang mesti diperhatikan manakala kita hendak menemukan sebuah dunia kerja yang membahagiakan, dan mampu menebarkan kepuasan bagi para pelakunya? Dan bukannya justru membuat kita terjerembab dalam duka nestapa yang panjang, dalam cengkraman “perbudakan modern”?

Dari sejumlah literatur dan studi empirik, terdapat 4 elemen vital yang sangat berperan dalam perwujudan sebuah dunia kerja yang membahagiakan. Elemen yang pertama adalah : meaningful and challenging work. Kita mungkin akan terkapar dalam kejenuhan yang akut manakala kita terus dipaksa mengerjakan tugas yang tidak pernah memberikan kita kesempatan untuk berkembang, untuk berpikir, untuk mencerahkan gagasan-gagasan segar kita. Ya, sebab kita hanya akan terus dapat bertumbuh menjadi insan yang produktif manakala kita terus bisa bergerak melakukan tugas-tugas yang kian menantang; yang kian kompleks, yang mendorong kita untuk terus merekahkan kemampuan terbaik untuk menaklukannya. Dan persis disitulah kita akan merasa puas jika mampu mengerjakan dan menuntaskannya secara ekselen. Challenging jobs will make us happy.

Elemen yang kedua adalah equitable rewards. No question about this. Kita hanya akan happy dan puas jika merasa imbalan yang kita terima (gaji, bonus, tunjangan kesehatan, tunjangan mobil, dll) sebanding dengan kerja dan prestasi yang telah kita dedikasikan. Apa ukurannya sebanding? Setidaknya total imbalan yang diterima sama dengan pasar (atau perusahaan dari industri sejenis). Syukur-syukur bisa lebih, seperti rekan kita DISINI.

Elemen yang ketiga adalah supportive working colleagues. Kita akan merasa happy dan puas jika teman-teman kantor kita merupakan insan-insan yang kooperatif, yang fun dan enak diajak kerjasama, yang mampu menebarkan spirit kebersamaan demi mencapai tujuan yang diangankan. Sebaliknya, kita sungguh akan merasa terpojok dalam rasa frustasi jika rekan-rekan kerja di kantor lebih asyik melakukan office politics, saling mementingkan kepentingan bagiannya/departemennya masing-masing, dan saling terperangkap dalam dinding pemisah antar bagian. Lalu masing-masing tergelencir menjadi raja-raja kecil yang saling tidak peduli dan enggan membangun komunikasi yang produktif dengan bagian lainnya. Kita acap menyaksikan fenomena kegagalan komunikasi antar departemen semacam ini, dan kita sungguh dibuat kecewa dengan situasi semacam ini.

Elemen yang terakhir bagi pembentukan a happy job adalah supportive boss. Sekitar 12 tahun silam, ketika masih bekerja untuk sebuah perusahaan, saya pernah memiliki seorang atasan/bos perempuan yang cantik dan good looking. Namun bukan itu poinnya. Yang selalu saya kenang darinya adalah ini : ia benar-benar mampu memerankan dirinya sebagai seorang atasan yang inspiratif, memiliki visi yang jelas, dan tak segan memberikan apresiasi jika saya menuntaskan pekerjaan dengan baik. Kompetensinya yang brilian telah membuat saya betah dan merasa happy bekerja dengannya (sudah sepuluh tahun kami tidak pernah bertemu, namun kualitasnya sebagai an inspiring boss telah membuat saya selalu terngiang dengan dirinya setiap kali bicara tentang peran atasan dalam menciptakan kepuasan kerja….).

Demikianlah empat elemen kunci yang mesti diperhatikan kala kita hendak merajut sebuah lingkungan kerja yang menyenangkan dan membikin penghuninya merasa puas dan happy. Ingat, sebagian besar dari kita menghabiskan waktu 50 % dari seluruh jejak hidup kita saat ini di ruangan kantor. Jangan biarkan detak jam itu berlalu tanpa kenangan yang membanggakan. Dan jangan pernah biarkan detak jam itu merobohkan kita menjadi hanya sekedar “zombie employees” dalam kubangan modern slavery…..

Note : Jika Anda ingin mendapatkan file powerpoint presentation mengenai management skills, strategy, marketing dan HR management, silakan datang KESINI.

Photo credit by Webg33k under creative commons license.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

36 thoughts on “Modern Slavery, Zombie Employees dan Kepuasan Kerja”

  1. Setuju sekali pak Yodha, dan saya ingin menambahkan peran bos yang menginspirasi sekaligus juga bos yang melatih anak buahnya. Di banyak perusahaan ada bos yang kerjanya hanya menuntut anak buahnya bekerja optimal dan benar tanpa sedikitpun memberikan kesempatan belajar dari sang bos sendiri. Bahkan ada bos di sementara perusahaan keluarga, yang diangkat hanya atas dasar kepercayaan dari sang owner tanpa menyandang secuilpun rekam jejak baik knowledge maupun kepemimpinan. Menghadapi bos seperti saya sebutkan banyak karyawan yang menjadi jengah, dan menjadi suatu beban yang membuat letih sebelum bekerja.

  2. Pak Yodhia,

    Senin pagi ini mendung dan gerimis di area tempat kerja ku.
    Sebagaimana Stephen R. Covey sampaikan, bahwa bagi mereka yang PRO-ACTIVE, maka walaupun cuaca SANGAT mempengaruhi namun TIDAK MENENTUKAN !

    Sebagian orang memang terlihat kurang semangat dan ikut larut dalam cuaca mendung. Namun ada juga yang tampak semangat memulai Senin pagi dengan tugas tanggung jawab pekerjaannya, seperti poin pertama :meaningful and challenging work !

    Kembali ke diri masing-masing, karena kita memiliki KEBEBASAN MEMILIH. Apakah kita ikut lesu sebagaimana mendung kelabu ? ataukah kita memilih tersenyum berseri menghadapi Senin Pagi !

    Satu tambahan, di sekitar tahun 1988 seorang CEO corporate automotive terbesar di Indonesia memberikan wejangan kepada para Management Trainee, dalam memilih pekerjaan ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan :
    paket remunerasinya (tidak perlu munafik, kita kerja juga cari penghasilan yang menarik), lingkungan kerja (boss, kolega atau budaya perusahaan) dan kesempatan untuk berkembang (karir, training & education).

    Salam Senin pagi ceria !
    Sudiartono

  3. Mas Yodhia,
    Kalau membaca artikel di atas sy teringat bekas atasan saya yang selalu memberikan support ke naak buahnya dan selalu memberikan contoh bgmana menghadapi masalah dalam pekerjaan dengan pikiran postitif dan selalu menyebarjan antusiasme dalam bekerja. Atasan saya itu selalu menekankan bagi ilmu, latih dam latih anak buah, bagikan llmu sehingga nantinya pekerjaan kita akan lebih mudah, tapi kebanyakan para Boss kita pelit dalam membagi ilmu (takut kesaing dan nantinya posisinya diambil) buat mantan atasan saya itu salah satu hal terpenting dalam kita menjadi pemimpin adalah bagaimana kita bisa menduplikasi dan mencetak pemimpin-pemimpin baru layaknya kita sekarang

    Salam Sukses

    Teguh

  4. saya habis membaca buku merah “RESULT”, disitu terdapat beberapa contoh cerita yang cukup bagus dimana ada seorang karyawan yang tadinya semangat menjadi lesu gara-gara lingkungan kerja yang tidak kondusif.

    Hal itu kok sering banget aku liat di perusahaan-perusahaan, seperti halnya iklan rokok, yang muda dipandang sebelah mata, sebagai karyawan terkadan permasalahan intinya justru pada pengakuan diri…dan tentu saja gaji hehehe.

  5. Pada jaman sekarang ini, untuk mendapatkan kerja yang benar-benar sesuai dengan yang kita inginkan sangatlah sukar. Adakalanya seseorang bekerja bukan sesuai dengan keinginannnya, akan tetapi lebih pada “tuntutan perut”, dimana mau ngga mau seseorang dituntut bekerja sesuai dengan job desc. yang diperoleh. Kondisi seperti ini tentu akan bertolak belakang dengan salah satu prinsip 4 elemen tadi. Nah, yang jadi penentu tentulah bagaimana setiap orang menyiasati semua permasalahan di tempat kerja masing2, sehingga 4 elemen vital tadi bisa terpenuhi..

  6. Sajian yang benar-benar renyah. Mas Yodhia, kalo boleh minta saran dan pendapatnya, bagaimana ya mengatasi ‘dinding pemisah antar departemen’ sehingga tidak menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Artinya bahwa semua bagian dalam organisasi kemudian bisa merasa menjadi ‘satu tubuh’, saling memberi dan menerima sehingga akan menjadi sinergi yang kuat untuk meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.

    Terima kasih.

  7. @ Naila, saya kira salah satu solusinya adalah melakukan semacam pertemuan antar departemen secara reguler — dan kadang mesti diselingi dengan kegiatan non formal. Dengan cara ini, hubungan antar departemen bisa menjadi cair dan lebih kondusif. Pada sisi lain, tentua masing-masing departemen mesti juga memiliki SLA (service level agreement) atau semacam tolok ukur kinerja yang mesti mereka berikan pada departemen lain (misal antara layanan departemen keuangan atau IT kepada para users).

  8. Bos cantik, supportive, good looking dan wangi,,,.. lagi. Aku tahu lho yang mas Yodhia maksud (kenangan indah ya Mas). And gimana mas kiat menghadapi bos yang sebaliknya….?Under pressure, no guidline, gak support dan Jutek ….

  9. Wah tulisannya oke mas, membuat saya jadi teringat betapa saya pernah mengalami situasi kerja yang ber-politik ria..membuat saya stres berat dan merasakan apa yang disebut modern slavery itu..memang suasana kerja kondusif bisa dimunculkan oleh boss ditempat kerja kita seperti yang dialami oleh mas yodha sendiri, tetapi menurut saya yang terpenting adalah lingkungan sekitar juga harus mensupport, kalo tidak kita akan tetap merasa kesepian di tengah pasar malam.
    Selain itu,motivasi diri yang kuat juga sangat menentukan bagaimana kita mengatasi dan menterjemahkan setiap kondisi yang terjadi, misalnya bisa saja kita bersikap cuek bebek di tengah situasi kerja yang main politik itu, tetapi mau sampai berapa lama, toh pada akhirnya kita harus menerima dan menghadapi kenyataan, jadi sebaiknya motivasi diri inilah yang harus terus dipupuk dan di kembangkan..Jadi setuju dengan 4 elemen yang disampaikan mas. Terimakasih

  10. @ Husin….hehehe….ya kamu pasti tahu karena pernah juga jadi bawahan dia……

    Dimana ya Ibu Henny sekarang bekerja……I miss her so much, and maybe she also misses me soo much…..hahahaha…..

  11. Ikut urun pendapat ya …

    Benar sekali opini rekan2 di atas, mengenai korelasi positif antara kepuasan kerja dg pencapaian kinerja karyawan di perusahaan. Ini memang kondisi ideal yang diinginkan oleh semua karyawan.. baik itu seorang General Manager sampai ke Office Boy sekalipun.

    Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa kinerja perusahaan juga sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Seberapa kondusif kah lingkungan bisnis kita di saat ini ? Kalo dari perspektif orang awam… kelihatannya kurang lebih spt ini…

    Di tengah situasi krisis pasar uang dan saham yg akhir2 ini terjadi di Amrik & Eropa, pihak kreditor (Bank) berusaha mati2 an memenuhi syarat kecukupan modal-kalau tidak mau di vonis bangkrut & kena likuidasi- Tentu saja mereka kejar semua debitor korporasi yang selama ini menjadikan saham mereka sebagai agunan untuk dapat kredit. Nyatanya… harga saham di mana2 anjlok …. Nah.. terus..gimana donk cara Instant HUNT FOR CASH ? Alternatif nya bisa macam2… mulai dari menutup operasi sementara waktu ( belum ketahuan sampai kapan) untuk menghemat biaya, sampai akhirnya : PHK karyawan…. Masih belum cukup… ya perusahaan di pailitkan..lalu dijual ke investor yg berminat.. dengan harga kepemilikan yg fully-depressed.

    Krisis memang belum sepenuhnya terasa di Indonesia, kecuali indeks BEI yang kembali berdarah-darah.. sampai ada yg bilang kalau IHSG = Indeks Harga Semau Gue ….. Di tambah dengan cenderung melemahnya nilai rupiah… Kenapa ini kejadian ? Pasti nya investor asing ( MNCs di Indonesia) di peras habis2 an oleh kantor pusat untuk setor $$ sebanyak2nya… nah… beli lah $$ sebanyak2 nya..dg modal kerja yg tersisa … kalau ada dana yg di putar di pasar saham..langsung cairkan spy bisa dapat cash ….

    Nah.. bisa dibayangkan spt apa stress nya seorang Country Manager .. dan pastinya akan meneruskan stress tersebut ke jajaran manajer di bawahnya… Si manajer juga tidak mau kalah…. “lha wong gua aja stress..masa gua biarin anak buah gua ber happy2 ria menikmati ‘kepuasan kerja’… enak aja !!

    Dalam situasi spt inilah yg namanya “modern slavery” terjadi… semua jajaran karyawan dipaksa kerja 60 jam lebih per minggu… tidak ada pujian.. tidak ada bonus… pilihan hanya 2 : TAKE IT or LEAVE IT ! Mau pindah kerja ? Lha situasi lingkungan nya juga sama… terus mau pindah ke mana ?

    Di sini lah kita2 para pekerja diminta introspeksi… apa sih sebenarnya hakekat tujuan hidup kita ? Bekerja banting tulang untuk dpt uang sekadarnya ? Aktualisasi diri ? Kepuasan ? atau apa ?

    Hikmah dlm situasi penuh tekanan spt sekarang, pastinya memberi kesempatan kita untuk berpikir out of the box… apa kita punya hobby yg juga bisa mendatangkan kepuasan & rejeki di waktu yg sama ? Ini harus mulai dipikirkan… untuk antisipasi situasi terburuk..di mana perusahaan tempat kita kerja sekarang..dengan SANGAT MENYESAL terpaksa mem PHK kita….

    Jangan sampai akhirnya malah terkena depresi berkepanjangan.. malah berujung jadi pasien Rumah Sakit Jiwa….

    Always Hope for the best, Plan for the worst….

  12. malam mas yodhia.
    saya pimpinan sebuah lembaga pendidikan, ( hanya sebuah kursus:) ).. pada dasarnya sih saya dekat dengan para staf pengajar dan admin dan hingga saat ini mereka sudah lama bekerja sama saya, tetapi yang membuat saya agak kesal nih sama mereka, saya selalu menyuruh untuk nimba ilmu dan mencari info2 di internet, tetapi hingga saat ini mereka rada cuek-cuek aja dan blog saya tidak pernah mereka kunjungi ..gima tuh mas agar mereka bisa semangat untuk cari segala info terutama info dunia pendidikan secara online??

    tahnks

  13. BEtul juga bilang dipikir. Emang benar pegawai bisa dibilang perbudakan modern, apalagi bila kerjaan yang dilakukan tidak disenangi. Namun sebagai pegawai khan bebas untuk pindah kerja.

    Yang penting adalah meningkatkan kinerja perusahaan, termasuk lingkungan kerja, agar pegawai itu betah untuk melakukan tugasnya. Jadi tuga dilihat sebagai sesuatu yg menyenangkan, bukan beban. Saya rasa itulah kuncinya.

    Boss cantik yang bonus lah. Nyatanya itupun tidak bisa membuat anda betah. (Atau bossnya keluar duluan?) 😛

  14. @ Harsya, thanks bro for your long and insightful comment.
    @ Piterbizz…..memang naluri untuk learning itu berbeda-beda….biasanya akan lebih tumbuh jika sejak kecil kita sudah terbiasa untuk membaca. Saran saya, bilang saja kepada anak buah Anda itu berkunjung ke blog ini….siapa tahu jadi tertarik dengan dunia ilmu manajemen yang renyah…..hehehe

  15. blum lama ini saya ikut kerja prkatek ke sebuah software house. Dan disitu saya sepenuhnya mengaminkan pernyataan “being employee is a modern slavery”. Suasananya gak asik banget. Dan menurut saya hampir semua software house di Indonesia berjalan dengan cara seperti itu. Makanya gak ada yg bner2 bisa maju. Btul gitu gak mas…??

    MustafaKamal.biz

  16. Jangan ampe ngrasa jadi slave gitu..aduuh pasti rasanya gak enak banget..coba dirubah paradigmanya..happines is a matter of choice.

  17. ya, ya ,ya, ya, sekali lagi emang renyah sekali bahasan disini. Disaat sebuah perusahaan topik pembicaraan setiap paginya adalah “bawa koran Kompas sabtu nggak?” hehehe, disitulah pastinya telah terjadi modern slavery, yup…seandainya semua perusahaan bisa kaya Semco dengan Ricardo Semler as CEO, wow enak sekali bisa memilih bos sendiri, menetapkan hari libur sendiri, feel working area as a playing ground, kapan ya ada seperti itu di sini…

    Pak Yodhia kalau bisa angkat donk kasus Ricardo Semler di Semco untuk minggu depan (semoga usul di terima..?? harusss hehehehe)

  18. Kali ini tulisan mas yod sungguh menginspirasi, menembak sekaligus menghentak. Wah…saya mesti betul-betul intropeksi nih. Banyak kejadian disekitar yang saya alami nampaknya memang masih sedikit yang mampu menjadi pelajaran dan menjadi insiprasi yang meninggikan orag lain. So….mesti segera berubah nih. Yang pasti dimulai sekarang, thank’s.

  19. Resiko terbesar menjadi pekerja,
    potensinya emang besar sekali bagi para pekerja, terutama jika manajemen perusahaan yang tidak mendukung kebahagiaan pekerjanya (dan sayangnya jenis perusahaan yang seperti inilah yang mayoritas)

    Solusi lain tentunya adalah menciptakan medan kerja sendiri, yang penuh tantangan, tuntutan untuk terus memperbaiki diri, bebas memilih apa yang akan dikerjakan, yang tak lain adalah berwirausaha

  20. Hehe.. bener sih msh jadi budak teruss
    pengen nya sih pindah kuandran bekerja sendiri via internet
    tapi kalo pun pindah kuadran masih tetep di sebelahk kiri yaitu pindah dari kuadran E ke S 😀 kira2 sama aja ga yah?

  21. Bos yang cantik…? mmmm… ditempat saya bekerja sebelum ini juga ada, mempunyai bos yg cantik dan lincah, semua kalimat yg keluar dari mulutnya hampir semua merupakan motivasi utk bawahannya…
    Selain senang memperhatikan fisiknya, kita juga betah utk sering2 meeting ama dia (loh kok jadi curhat nie…)

  22. Bos yang baik memang cukup berpengaruh membuat betah pegawainya…

    Pengalaman pribadi di tempat saya sekarang, bos headquarters saya dari Singapore mengirim saya SMS sebelum jam 12 malam di hari ulang tahun saya… what a great surprise right?! Then I said “Bos, it’s a nice gift, thank you.”

    Mungkin kejadian seperti itu akan saya ingat selamanya dan mudah2an bisa saya tiru ketika saya menjadi bos nanti.

  23. kereeeen abiiz, tulisannya emang begitu layaknya dunia kerja. jika lingkungan kerja belum seperti itu gimana mas, apa kita harus kabuuuuuur aja. atau lebih baik kita menata hati kita untuk dapat menerima semuanya.

  24. Hi, Mas Yodhia.

    Nice blog, blog ini salah satu sumber inspirasi, memeng saat ini banyak yang dihadapi pekerja saat ini, kayaknya kita perlu mengubah quadrant dari E, S ke I, B. saya juga mengalami hal ini di Perusahaan saya sedang bekerja saat ini. Saya aktif masih Team Member di Shipboard Personnel Dept : Hotel Operational Management Carnival Cruise Lines yang berpusat di Miami, FL. Saya di kontrak selama 6 bulan dan 3 bulan cuti dan renew contract. Dengan 100 suku bangsa yang berkerja di Perusahan ini telah mencipatakan suasan kerja yang gila, target, sistem, bos yang sangat rasis dan juga didukung oleh aturan yang diterapkan oleh Homeland Security USA yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai NSEERS menjadi salah satu beban.

    Saya harus segera mengubah quadrant dan segera meninggalkan Perusahan ini, dan menjadi ” a freeman ” seperti judul lagu dari Grup Vertical Horizon : ” it’s over” and go somewhere better

    be “a freeman”

    kunjungi juga : http://www.visitnias.wordpress.com

    Darman Zebua, “Medan :the tiger of andalas”

  25. Yth Bpk Yodhia,
    4 faktor mengenai dunia kerja yang membahagiakan terfokus pada: peran diri, upah, lingkungan dan bos.
    Tentang upah, lingkungan dan bos adalah faktor “alam”, kita tidak bisa menuntut untuk ada dalam kondisi ideal.
    Tapi tentang peran diri, bisa menyelamatkan jiwa dari “perbudakan”.
    Saya jadi mengerti tentang arti penting “passion” yang telah Anda kenalkan.
    Terimakasih!
    Blog Cantik
    https://pyramid-online.blogspot.com

  26. lha kl karyawan = budak modern, apakah pengusaha = borjouis2/ imperialis modern?
    hanya pada sebagian aspek karywan yang “mirip budak”, seperti yg mas Ivan bilang…karyawan khan masih punya kesempatan pindah kerja.
    Pengusaha/ owner bisnis PASTI nolak di sebut imperialis,… alasannya : “…kami kasih gaji cukup, ada bonus, tidak ada pemaksaan, punya karier dsb. Beda donk kami dengan imperialis”.

    semua pekerjaan punya nilai penting masing2, sekalipun dia pemulung atau tukang ambil sampah. Kalo tidak ada orang yg mau bekerja sebagai petugas ambil sampah kayak apa tempat tinggal kita…, hal yg pernah terjadi di bandung saat pusat pembuangan sampah bermasalah.

    Bila kah perusahaan akan beroperasi dan berkembang tanpa adanya karyawan?
    Penyadaran & pemahamam penting fungsi masing2 yang utama sehingga saling menghargai untuk meraih kepentingan masing, saling kerjasama.

    untuk menjadi sepotong celana dalam yang kita pakai saja butuh keterlibatan ribuan orang, mulai dari petani kapas, pengumpul, pembuat benang, penyuplai benang, pembuat bahan, pembuat/penjahit CD, supir yang mendistribusikan CD, bagian promosi dll…

    kita syukuri pekerjaan dan fungsi kita dan terus ber-improve…

  27. pilihan ya kembali lagi terserah anda mau terus bekerja dengan menikmati apa yang ada atau menjadi Enterpreneur / Freeman 🙂

  28. Saya sepakat dg pak Bsuharkat.
    Bahwa masing2 punya fungsinya sendiri.
    Sebaik2 manusia adalah manusia yg bermanfaat bagi orang lain.

    Kalau pengusaha bermanfaat bagi orang lain, yg tidak bisa atau
    Belum berani berusaha sendiri dengan membuka usaha sendiri karena
    Segala keterbatasan.

    Juga bahwa pekerja sendiri , kalau yg dikerjakan dg niat memberikan
    Manfaat bagi orang lain, baik itu pengusaha maupun pemakai dari hasil
    Kerjanya.

    Dan kedua2 nya berlomba2 dalam kebaikan..

    Pekerja asing yg di negaranya adalah pekerja biasa, di Indonesia
    Dapat menduduki posisi manager ke atas.
    Pekerja juga kalau mereka berkualitas, pasti akan mendapatkan
    Kualitas hidup.

    Jangan terjebak dalam makna kata2, hanya dalam nilai uang semata,
    Tetapi kerja kita, amal kita, prestasi kita adalah investasi utk
    Hidup setelah kita tidak ada di dunia lagi.

Comments are closed.