Bias dan Judgment Error dalam Penilaian Kinerja Karyawan

Setiap tahun hampir setiap perusahaan melakukan proses penilaian kinerja karyawannya. Sebuah proses yang mestinya dilakoni dengan penuh seksama. Sebab tanpa proses penilaian kinerja yang jitu untuk mengukur prestasi setiap karyawannya, maka perusahaan itu bisa tergelincir menjadi semacam paguyuban abal-abal. Mereka tidak pernah tahu siapa yang bagus dan siapa yang berkinerja buruk.

Cuma soalnya, proses penilaian itu acapkali berlangsung secara misterius, gelap dan pekat dengan aroma subyektivitas. Bicara mengenai nuansa subyektivitas ini, memang kita semua ini rentan dengan apa yang disebut sebagai decision making error – apalagi kalau menyangkut penilaian terhadap orang lain. Kita mudah tergelincir dalam beragam bias dan error yang setiap saat menyelinap ke dalam ruang batin kita.

Apa saja jenis judgement error itu, kita akan mendikusikannya secara renyah di pagi ini.

Beragam jenis bias atau error hendak disampaikan disini agar Anda semua sadar akan kehadirannya. Dengan itu, diharapkan kelak ketika Anda diminta untuk melakukan penilaian terhadap orang lain (atasan, bawahan, atau rekan kerja), Anda bisa mencium kehadirannya : dan lalu berusaha seoptimal mungkin agar tidak terjebak didalamnya.

Dalam ilmu perilaku manusia, ada banyak bias yang acap “merusak” akal sehat dan obyektivitas kita ketika melakukan penilaian terhadap orang lain (termasuk dalam proses penilaian kinerja karyawan). Disini kita hanya akan membahas tiga diantaranya.

Error # 1 : Recency Error. Bias ini terjadi ketika ketika melakukan penilaian hanya berdasar pada recent events (atau berdasar kejadian yang baru saja berlalu, misal hanya bulan lalu terjadi). Eror ini terjadi karena kita cenderung hanya punya ingatan yang pendek (short memories).

Kita suka lebih ingat dengan peristiwa yang baru saja terjadi dibanding dengan yang terjadi beberapa bulan silam (apalagi jika kejadiannya hanya merupakan kejadian yang bersifat rutin dan sering terjadi).

Itulah kenapa karyawan yang “cerdik” suka memanfaatkan eror ini : dia bekerja dengan sangat keras ketika mendekati akhir tahun atau ketika dekat dengan sesi penilaian kinerja. Sebab dia tahu, atasannya hanya akan ingat kejadian terkini saja (dan agak lupa dengan apa yang dia kerjakan di awal atau pertengahan tahun). Dengan itu, dia berharap akan mendapat kesan dan penilaian yang bagus dari atasannya, padahal tidak selamanya begitu.

Mudah-mudahan Anda bukan termasuk karyawan yang “cerdik” seperti itu… 🙂

Error # 2 : Similar to Me Error. Dulu ketika melamar sebuah pekerjaan, saya pernah diwawancarai oleh seorang Direktur SDM, dan kemudian diterima. Beberapa bulan kemudian saya tanya kepada beliau kenapa menerima saya. Jawabannya pendek : karena Anda mirip dengan saya (dalam hal pemikiran dan minat). Padahal interviewer lainnya telah mencoret nama saya karena jawaban-jawaban saya dianggap terlalu bombastis 🙂

Eror ini terjadi ketika kita memberikan penilaian yang lebih positif terhadap orang yang sama dengan kita (similar to me), baik karena kesamaan gaya, minat, opini, ataupun kepribadian. Ini yang acap mendorong munculnya kesan like and dislike. Kesan ini hadir lantaran atasan memang akan lebih suka dengan bawahan yang MIRIP dengan dirinya. Sebab kemiripan ini akan lebih mudah memunculkan “chemistry” atau “klik” antara satu orang dengan yang lainnya.

Error # 3 : Hallo Effect Error. Bias ini terjadi ketika satu aspek dari seseorang kita jadikan dasar untuk menilai orang itu secara keseluruhan. Kalau satu aspek itu kebetulan jelek, maka kita akan bilang orang itu akan jelek seluruhnya (meski misalnya yang jelek hanya tampangnya, dan dia punya kelebihan dalam beragam aspek lainnya).

Sebaliknya juga bisa terjadi : satu aspek bagus dari seseorang bisa membuat kita berkesimpulan bahwa orang itu benar-benar bagus dalam segalanya padahal dalam aspek lain mungkin ia perlu perbaikan.

Demikianlah tiga jenis error yang acap “merusak” obyektivitas kita dalam melakukan proses penilaian. Idealnya, ketika melakukan penilaian kinerja karyawan, kita juga menggunakan semacam KPI atau target kerja yang terukur. Dengan demikian efek subyektivitas bisa kita minimalkan.

Kelak ketika Anda melakukan proses penilaian atau judgement, selalu sadar dan ingatlah ketiga jenis error diatas. Dengan itu, mudah-mudahan Anda bisa menjadi orang yang lebih bijak dalam mengukur kinerja orang lain.

~~

Contoh Format Penilaian Kinerja dan Katalog KPI lengkap dapat Anda download disini.

Author: Yodhia Antariksa

Yodhia Antariksa

17 thoughts on “Bias dan Judgment Error dalam Penilaian Kinerja Karyawan”

  1. Mantep mas!
    Dengan tahu kemungkinan errornya, kita bisa membuat rambu-rambu di panduan penilaian kinerja sehingga errornya relatif teratasi

  2. evaluasi karyawan idealnya secara periodik setidaknya setahun 2 kali, dgn system terukur semisal balance score card shg lebih jelas dlm evaluasinya.

    Hal ini penting dlm proses evaluasi performance.

    jika kebutuhan yg digunakan adalah untuk development karyawan, maka prinsip yg kita pegang sbg atasan adalah bahwa setiap orang adalah punya ke jeniusan sendiri yg unik, hal itu bisa hilang atau tdk muncul manakala kita pengin seperti orang lain.

    salam,
    wahyudi
    http://www.cy-bridge.com

  3. Bila kerja itu dianggap ibadah (saya pun lagi berusaha, meski ini cukup sulit). Kita akan hanya cari muka kepada hanya kepada BIG BOS (Allah SWT).

    KPI tentu saja sangat diperlukan karena kita semua sedang menuju kearah sana.

    Terimakasih ilmunya.

  4. Sama seperti Pak Canny, dimana kita tidak bisa memisahkan antara pekerjaan dengan ibadah (dalam arti yang luas). Sehingga bekerja secara sungguh-sungguh dan jujur akan pekerjaan/tanggungjawab kita.

    Sehingga kita mendapatkan 2 penilaian yang terbaik. Pertama penilaian yang hakiki (Rabb kita) dan kedua penilaian dari KPI yang ada.

    Salam, semangat SDM Indonesia.

    http://www.xirkachipset.com

  5. error” diatas agak sulit untuk ditiadakan.. hanya mungkin bisa diminimalisir… terutama soal ‘kemiripan’ dan hallow effect error… orang bisa sangat subjektif menilai… dan akhirnya kapasitas tidak menjadi penting asal ‘mirip’ tadi…

    @ferryardian

  6. yang nomor 1 itu sering banget dilakukan ama karyawan yg bekerja di perusahaan yg ‘low budget’.
    si BOS juga gak mau capek2 menganggarkan uang untuk membangun sistem penilaian Tenaga Kerja yg rapi dan terukur.
    jadi klop sudah…

  7. Wow, terus terang saya baru sadar akan adanya bias yg bisa terjadi ketika kita melakukan penilaian (kinerja) karyawan. Informasi yg bermanfaat. Terima kasih, Pak Yodhia! 🙂

  8. Alhamdulillah, bos saya orangnya (insyaAllah) objektif…tapi temen2nya yang tidak selalu begitu…

  9. Pengalaman saya sbg orang HRD dalam menjalankan Performance Appraisal di perusahaan, sering kali Top Management harus melakukan intervensi di akhir penilaian dgn dalih “normalisasi” terhadap actual company performance.

    Hal ini dilakukan karena sering kali hasil penilaian individu yang dilakukan bersama atasan masing-masing yang mengacu kepada KPI mendapat nilai yang “tidak nyambung” dengan presetasi perusahaan, jika dibuat rata-rata lebih tinggi dari pencapaian perusahaan, belum lagi nature/sensitifitas penilaian antar leader juga berbeda antar divisi, sehingga ujung2nya nilai yang ada harus dinormalisasi.

    Hal ini tidak dapat dihindarkan dan menjadi dilema. Tanpa normalisasi prestasi individu tidak realistis meski target KPI-nya tercapai, dengan normalisasi, penilaian dirasa sangat “top down” yang menghilangkan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan dan proses PMS.

    Akar masalahnya adalah di saat goal setting di awal periode yang tidak align dan terkoneksi satu sama sehingga memberikan gambaran kontribusi perusahaan.

    Mungkin saja alignment sudah dilakukan, namun perlu diketahui bahwa alignment di awal belum tentu terbukti aligned secara akurat saat implementasi, terlebih jika ada perubahan di tengah tanpa adjustment di Performance Target.

    Oleh karenanya proses Performance Management System harus dijadikan suatu Proses Pembelajaran Perusahaan bagi semua orang dan semua leader di perusahaan dari waktu ke waktu, khususnya dalam proses alignment, menerapkan satu sistem PMS hanya langkah awal, belum ada jaminan akurasi jika baru tahun pertama atau tanpa analisa sebab akibat performance periode sebelumnya.

    Feedback atas hasil analisa dan final penilaian harus dikomunikasikan kepada karyawan.

  10. Untuk menjadi individu yang profesional diperlukan self control yang kuat sehingga error-error tersebut dapat di minimalisir.

    Terkait individu tersebut atasan yang melakukan penilaian kerja maupun kita pribadi sebagai partner kerja orang lain, semangat profesionalisme itu sangat penting untuk di junjung tinggi.

    https://bpimanagement.wordpress.com/

Comments are closed.