Tulisan ini merupakan kontribusi dari guest blogger bernama Ferry Wirawan Tedja – Deputy CEO pada PT Kapal Api Global.
Ada sebuah filosofi kunci yang mungkin layak kita ulik saat kita berbincang tentang talent management.
Filosofi ini berkaitan dengan sebuah bahan baku makanan yang kelihatannya sangat remeh, namun punya dampak luar biasa bagi rasa makanan yang Anda kunyah.
Nama bahan baku itu adalah : garam. Benda yang bersahaja namun sangat intens mengisi hari-hari Anda dalam setiap santapan makan yang Anda nikmati.
Lalu, apa hubungannya filosofi garam dengan persoalan talent management?
Kita akan menguliknya di pagi hari ini, sembari ditemani dengan semangkok bubur ayam (dengan taburan garam yang pas) dan secangkir kopi hangat dari Kapal Api 🙂
Ada dua ungkapan tentang garam yang saya mau share ke rekan semua.
Klik gambar untuk akses free KPI software.
Pertama, garam itu ditaburkan, bukan dicurahkan (kalau gak, rasa makananmu bisa terlalu asin dan tidak maknyus). Kalau saya ibaratkan garam adalah orang bagus alias talenta, maka sangat penting bagi perusahaan untuk menyebarkan talenta ke berbagai fungsi organisasi.
Tentu harapannya adalah talenta tersebut menyebarkan nilai – nilai kebaikan organisasi sehingga tugas ini tidak hanya menjadi urusan top management saja.
Talenta tidak hanya dipandang bagus kinerjanya, namun mereka adalah para juara yang membela dan mempertahankan nilai – nilai perusahaan sebagai pedoman dalam berperilaku untuk mencapai visi dan target perusahaan.
Namun seperti disebutkan di atas, garam itu ditaburkan. Diambil, lalu disebarkan dalam bentuk kumpulan kecil. Tidak dalam bentuk sebutir demi sebutir, namun berkelompok (baca: berkomunitas).
Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa talent gagal berkreasi di perusahaan.
Salah satu alasannya adalah mereka sering kali sendirian berjuang, kesepian dan tidak dipahami karena berbeda dengan kebanyakan orang. Untuk membuat perubahan, penting sekali para talenta ini membentuk komunitas di tiap – tiap fungsi atau departemen untuk saling menguatkan hati, tabah menghadapi penolakan dan serangan, lalu menyusun strategi untuk melaksanakan perbuatan baik di dalam perusahaan.
Sering terjadi bahwa talenta yang frustrasi bekerja sendirian, akhirnya terpancing dengan provokasi, membalas keburukan kinerja dengan keburukan kinerja lainnya, sehingga pada akhirnya mereka gagal menjadi talenta sejati yang diharapkan oleh perusahaan dan komunitasnya.
Adalah penting bagi HR dan Top Management bersatu hati untuk melindungi para talenta ini dan membuat sistem yang membuat para talenta bekerja dengan maksimal dan sepenuh hati untuk mendorong organisasi mencapai visi dan misinya.
Sistem komunitas talenta perlu dibuat, dilaksanakan secara konsisten dan akhirnya solid menopang dinamika pertumbuhan dan pengembangan para talenta.
Kedua, garam itu tidak perlu banyak, tetapi mampu mempengaruhi.
Secara periodik dan konsisten, perusahaan dan manajemen yang kuat dan berdaya akan meninjau kinerja dan kontribusi semua karyawannya.
Pada umumnya akan ada tiga golongan (menurut Pak T.P. Rachmat, former CEO Astra Group): satu, golongan yang senantiasa meningkatkan standar (Talenta); dua, golongan yang senantiasa sesuai dengan standar (solid worker) dan tiga, golongan yang senantiasa di bawah standar (dead wood).
Pasti yang selalu di bawah standar, kita harus membina dan ‘membinasakan’, sementara solid worker kita akan berdayakan sesuai dengan kompetensi mereka.
Talenta jumlahnya tidak perlu banyak banyak. Mereka mungkin sekitar 10 – 20 persen, namun keberadaan mereka sangat krusial untuk mendorong kinerja perusahaan dan individu yang berkarya di dalamnya.
Kalau ada talenta yang pintar dan bagus kinerjanya, namun tidak mampu mempengaruhi yang lain dalam artian positif, maka patut dipertanyakan status ketalentaannya. Jadi syarat menjadi talenta memang relatif berat.
Mereka adalah teladan dalam bekerja (meningkatkan standar dengan cara yang mulia) dan membangun hubungan dengan yang lain (sadar bahwa mereka tidak bisa bekerja sendiri dan memerlukan orang lain untuk membantu mereka, bukan untuk dimanipulasi, intimidasi atau dominasi).
Demikian pelajaran tentang garam yang saya coba renung dan kaitkan dengan pengelolaan talenta di perusahaan.
Have a nice day and coffee…
Note :
Profil penulis artikel ini adalah Ferry Wirawan Tedja yang menduduki jabatan Deputy CEO pada PT Kapal Api Global – bertanggungjawab atas bisnis Kapal Api di Pasar Global.
garam, analogi yg super menarik. kecil tp mampu berkontribusi besar. Ngga ada garam hidup jd hambar. Sistem komunitas talenta wajib di miliki tiap perusahaan ato pemerintahan.
Sayang rasanya bila bnyak talenta2 hebat hrus menginjak rem nya dalam2 ketika perusahaan/instansi membutuhkan rem nya karena tk didukung manajemen/pimpinan.
Dirgahayu #RI70 – Majukan dan makmurkan NKRI dengan taburan garam para talenta bangsa berbakat dan patriotis.
Setelah CBHRM, muncul TBHRM, yang katanya lebih pas untuk dikembangkan.
Tetapi kemudian hanya teori, pelaksanaannya sulit juga. Banyak talenta yang frustasi.
Ternyata inilah jawabannya: talenta harus ditaburkan, jangan sebutir-sebutir, harus berupa komunitas, dan bila ada talenta yang tidak mampu mempengaruhi harus dipertanyakan ketalentaannya.
Soliditas talenta harus diberi wadah oleh perusahaan, sehingga mereka tidak frustasi.
Talenta harus tepat jumlah, tepat kualifikasi dan tepat waktu. Sebagaimana garam, jika kebanyakan dapat mengakibatkan darah tinggi…he…he.
Benar…..
Garam kalau terlalu sedikit hambar rasanya
Kalau terlalu tinggi, bisa hipertensi…..
Hehehe
Salam sukses
Wah baru sadar saya kalau analogi penggunaan garam mampu diterapkan untuk mengidentifikasi dan membantu persoalan terhadap talenta karyawan yang sangat rentan dalam sebuah team kerja.
Kira-kira untuk penerepannya dan membangun sistem komunikasi guna mencapai ke “ideal” an penggunaaan garam tabur diatas bagaimana caranya ya ?
Saya yakin bahwa talent mgmt adalah proyek top management, bukan hanya HR, walau HR adalah salah satunya championnya. So, perlu ada komunikasi intensif antara top managemen dan management team untuk menyatakan ramuan dan komposisi terbaik antara talenta dan grup karyawan.
Kalau di perusahaan ada board of commissioners, akan lebih baik diadakan pengawasan dan meeting periodik untuk membahas kemajuan talenta dalam menjalankan tugas, proyek dan fungsinya dalam organisasi.
wah ada penulisnya langsung, Pak Ferry, salam pak… bagaimana penerapan talent management bagi UKM ?
Tidak ada perbedaan prinsipil soal Talent Management di UKM dan Enterprise karena justru perusahaan besar sedang meniru perusahaan kecil karena mereka lebih fleksibel dalam memperlakukan talentanya.
Perusahaan besar menyadari bahwa mereka terbatasi oleh sistem manajemen HRD, sebut saja Job Grade yang akan menentukan tabel gaji dan benefit lainnya, sementara Glodok di Jakarta dan Kembang Jepun di Surabaya bisa dengan enak memberikan perhatian kepada Talenta, tanpa harus mengikuti kaidah grading (karena jumlah pegawai masih sedikit dan mudah dalam mengelola).
Intinya, talent management perlu meng-address bahwa talenta tidak bisa diperlakukan sama dengan karyawan lainnya.
Good artikel…
Menjadi garam kelihatan nya mudah… Namun berfungsi menjadi garam di saat yang tepat dan dengan kadar yang tepat lah yang perlu agar makanan yang terhidang dan dinikmati menjadi bermanfaat dan memiliki cita rasa yang sempurna….
Terimakasih untuk artikel yang ‘renyah’ hari ini Mas Yodhia Antariksa dan Ferry Wirawan Tedja…
5 hal yang saya coba catat dan renunngkan adalah:
Untuk menjadi garam yang ditabur (orang bagus alias talenta) seyogyanya:
1. Menyebarkan nilai – nilai kebaikan organisasi.
2.Talenta tidak hanya dipandang bagus kinerjanya, namun mereka adalah para juara yang membela dan mempertahankan nilai – nilai perusahaan sebagai pedoman dalam berperilaku untuk mencapai visi dan target perusahaan.
3. Membentuk komunitas di tiap – tiap fungsi atau departemen untuk saling menguatkan hati, tabah menghadapi penolakan dan serangan, lalu menyusun strategi untuk melaksanakan perbuatan baik di dalam perusahaan.
4. Senantiasa meningkatkan standart.
5. Teladan dalam bekerja (meningkatkan standar dengan cara yang mulia) dan membangun hubungan dengan yang lain (sadar bahwa mereka tidak bisa bekerja sendiri dan memerlukan orang lain untuk membantu mereka, bukan untuk dimanipulasi, intimidasi atau dominasi).
Salam sukses
*Pake gaya mas Yod* 😀
nice post pak ferry..
jika diibaratkan istilah “asam garam kehidupan” dalam konteks perusahaan, maka saya nantikan ulasan lain berkaitan “asam kehidupan” spy lebih komprehensif. thumbs up, sir…
Saya berpendapat terkait dengan Talent Management
Kualitas sumber daya manusia yang handal pada sebuah perusahaan merupakan aset tak ternilai yang akan mampu menunjang kelangsungan kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan secara lebih maksimal.
Oleh karenanya perusahaan-perusahaan yang secara aktif menerapkan talent management merupakan perusahaan yang berupaya secara lebih profesional dalam mengelola kualitas sumber daya manusia perusahaan.
Dan perusahaan tersebut biasanya menyadari adanya persaingan perusahaan di level individual sumber daya manusia perusahaan
Dan hubungannya filosofi garam dengan persoalan talent management jadi menarik unuk dicermati.
Bagaimana mengembangkan talenta dalam culture perusahaan yang sangat kental dengan SARA ?
Kalau memang unsur SARA kental, ya Anda pindah saja ke perusahaan lain yang lebih baik….
Sampaikan baik-baik ke pemilik perusahaan, bahwa kebijakan talenta harus berbasis pada prestasi kerja riil, bukan nepotisme dan unsur sara…..
Jika pemilik perusahaan keukeuh (krn pertimbangan tertentu); berusaha untuk tetap membujuk dan melakukan persuasi kepada dia tentang pentingnya obyektivitas…..
Jika owner tetap ndak berubah….ya pilih sikap agree to disagree….lalu anda pindah ke perusahaan lain yg lebih mau mementingkan unsur obyektif dan bukan sara dalam proses pengembangan talenta…..
Daripada frustasi dan ngomel-ngomel, lebih baik energimu dipindahkan ke tempat lain yang lebih kondusif…..
Sebab masih banyak perusahaan yang mau membangun sistem dengan fair dan tanpa sikap diskriminasi….
Namun SARA ini memang menarik……
Berdasar studi2 ilmiah tentang ilmu perilaku, orang cenderung lebih suka dengan orang lain yang sama asal usulnya (baik etnis atau kampung halaman).
Dalam istilah ilmiah ini disebut “similar to me effect”.
Secara instingtif, orang akan lebih merasa comfortable memilih orang yang sama asal-usulnya dengan dia….. dan sikap ini memang memunculkan kesan sara….
Apa boleh buat. Secara ilmu psikologis, memang orang lebih suka bergaul dengan orang yang “similar to him/her”.
MAKA kalau bisa, tetap dimasukkan unsur meritokrasi (unsur prestasi kerja)…..jangan asalah milih yang sama meski orang itu jelek…..
Kalau ada dua orang yang sama mutunya….namun yang satu sama satu suku dengannnya, maka yang satu suku yang akan dipilih…..
Ini terjadi di seluruh dunia, termasuk di Amerika dan Inggris…..SARA itu fenomena universal manusia, bukan khas Indonesia…..
Banyak talenta-talenta bagus akhirnya pergi karena tidak mendapat support yang bagus.
dari beberapa kali berpindah kerja saya sering melihat itu.
Thanks info yang mencerahkan.