Paradoks Kelam antara Nafsu Konsumtif dan Kondisi Keuangan yang Pas-pasan

shoppingTulisan yang sangat memikat ini merupakan kontribusi dari Amelia Ayu Kinanti, guest blogger dari Shopback Blog

Ada yang bilang bahwa rejeki yang diberikan Tuhan selalu cukup untuk hidup, tapi tidak pernah cukup untuk gaya hidup. Menohok sekali, ya?

Setiap kali pemasukan meningkat, tiba-tiba saja kebutuhan kita ikut meningkat juga. Yang sebelumnya tidak pernah butuh sepatu Tom’s Shoes, tiba-tiba saja merasa butuh memiliki sepatu ini.

Yang sebelumnya tidak butuh punya speaker, tiba-tiba saja merasa butuh speaker tambahan dengan suara yang lebih nge-bass. Yang awalnya baik-baik saja tanpa mainan drone, sekarang ikut-ikutan beli drone international.

Alurnya begini, awalnya kita hanya ingin beli baju baru. Lalu berpikir, bajunya bagus, tapi masa mukanya gini-gini aja. Lalu kita mulai berlangganan perawatan di klinik kecantikan. Baju sudah oke, muka sudah terawat, masa tas dan sepatunya lusuh begini?

Lalu kita pun membeli sepatu dan tas yang lebih bagus. Penampilan sudah oke, makannya jangan di warteg lah. Kemudian kita mulai membiasakan diri makan di kafe dan berkumpul dengan orang-orang yang lebih berkelas.

Setelah memiliki banyak teman, rasa bersaing pun muncul. Jiwa kompetitif dalam memiliki barang bermerk menyeruak. Masa teman saya bisa punya tas Prada, tas saya gini-gini aja. Sudah impor sih, tapi masih kurang branded. Lalu dibelilah tas dengan merek yang lebih terkenal.

Nongkrong pun bukan hanya di kafe, tapi juga di gym. Kurang keren rasanya kalau masyarakat metropolitan tidak nge-gym.

Begitu seterusnya sampai akhirnya kita menyadari bahwa selama bekerja bertahun-tahun, kita tidak memiliki apapun selain tumpukan baju, tumpukan tas, gadget tak terpakai, serta makanan yang sudah berubah jadi (maaf) kotoran dan lemak.

Akhirnya, kita tidak bisa menabung. Banyak sekali kasus orang-orang yang sudah puluhan tahun hidup di kota tapi tidak mampu membeli rumah. Bukan karena penghasilannya pas-pasan, tapi karena gaya hidupnya yang tidak sesuai pendapatan.

Bayangkan saja bagaimana rasanya hidup di kota dan tidak memiliki rumah sampai Anda berusia 60 tahun. Ngeri, kan?

Bagaimana kalau sewaktu-waktu sakit, dengan biaya yang tidak sedikit, sementara Anda tetap harus membayar biaya kontrak atau kos di usia yang sudah uzur itu?

Tapi di sisi lain, ada kisah yang tak kalah menarik, yaitu kisah tukang bubur yang naik haji. Ini bukan sinetron, melainkan benar-benar ada di dunia nyata.

Sariyah, warga Banyumas yang setiap hari berkeliling jualan bubur candil dengan sepeda ontelnya, berhasil menabung dan menunaikan ibadah haji.

Ketika di bagian dunia lain banyak sekali orang berlomba menuruti gaya hidup dan tren, Sariyah justru setia dengan pakaian sederhananya. Penghasilan meningkat atau tetap, tidak ada yang berubah pada lifestyle perempuan berkerudung ini.

Tidak mudah memang menahan diri dari arus lifestyle masa kini yang serba pakai duit. Di sinilah pentingnya mengatur pola hidup dan rencana karir.

Boleh-boleh saja kalau mau mengikuti trend traveling ke luar negeri, belanja pakaian branded, makan di restoran mewah, tapi sesuaikan juga dengan kondisi finansial dan buat rencana jangka panjang.

Kalau mau gaya hidup mewah, satu-satunya cara adalah dengan meningkatkan karir. Penghasilan tahun depan harus sudah meningkat, karena biaya hidup makin lama juga makin luar biasa. Kenaikan harga properti juga tidak masuk akal.

Nah, kalau tidak bisa meningkatkan karir, maka pilihannya hanya mengatur keuangan sebaik mungkin dan mengendalikan belanja, terutama yang merupakan emotional spending.

Butuh komitmen yang luar biasa untuk bisa menghindari gaya hidup di luar kemampuan finansial. Siapa sih yang tidak tertarik untuk ikut-ikutan belanja smartphone model terbaru, ketika semua orang di sekitar sudah memilikinya?

Di internet, kita bisa dengan gampang menemukan tips-trik mengatasi emotional spending, agar bisa belanja sesuai kebutuhan.

Banyak juga tips agar tetap memiliki tabungan di tengah nafsu belanja yang tidak pernah puas, mulai dari meminta teman untuk selalu mengingatkan, mengevaluasi belanja harian, sampai mencari alternatif kegiatan yang tidak menghabiskan uang.

Ada yang menyarankan untuk mendepositokan uangnya, sehingga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang tidak penting.

Padahal, bagaimana bisa deposito sedangkan deposito minimal setor kira-kira Rp 10 juta. Dari mana uang 10 juta kalau kita tidak nabung dulu?

Ada juga yang menyarankan untuk bawa cash seperlunya saja saat pergi ke mall atau tempat belanja lainnya.

Haloo! Di era kartu seperti ini, meskipun kita tidak bawa cash, tetap saja bisa belanja. Kan masih ada kartu debit dan kredit yang tinggal digesek-gesek, jadilah gadget unyu itu kita bawa pulang.

Saran lainnya sangat klasik dan sering gagal, yaitu membuat daftar belanja kebutuhan pokok setiap bulan dan menabung terlebih dahulu.

Dengan menyisihkan tabungan terlebih dahulu, kita akan tahu pasti berapa uang yang bsia dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok dan berfoya-foya dalam sebulan.

Ada banyak sekali rumusan prosentase menabung. Tapi lagi-lagi, terbentur dengan kebutuhan mendadak dan mendesak, serta pola hidup suka belanja di awal bulan setelah gajian.

Seorang netizen bernama Vindy Hafrida memberikan saran menabung cukup berbeda, yaitu dengan mengumpulkan pecahan uang Rp 20.000.

Pokoknya setiap kali dapat uang Rp 20.000, harus langsung disisihkan dan dimasukkan celengan.

Cukup ampuh bagi sebagian orang, tapi tidak ampuh bagi mereka yang mudah tergoda untuk menggunakan uang kecil. Tidak mudah, kan, kalau harus menggunakan uang 50.000 atau 100.000 terus-terusan?

Saran yang agak ekstrim dan aneh adalah menitipkan uang ke orangtua. Dengan begitu, saat akan mengambil uang, mau tidak mau kita harus menjelaskan untuk apa uang tersebut.

Cara ini sangat oke, dengan catatan kita harus punya orangtua yang sangat pandai mengatur keuangan. Nah, bagaimana dengan mereka yang orangtuanya sering berhutang dan sama-sama tidak bisa mengendalikan gaya hidup? Nah, inilah susahnya.

Anda boleh pilih saran mana saja yang kira-kira cocok. Intinya adalah bagaimana bisa menyisihkan uang dan tidak menghabiskan semua pendapatan tiap bulan untuk hal-hal yang tidak perlu, yang pastinya akan sangat disesali nanti kalau sudah mulai jadi manula.

Traveling ke mana saja, beli smartphone apa saja, makan di restoran mewah sekalipun, itu adalah hak Anda sebagai pemilik uang. Hanya saja, jangan sampai timbul penyesalan di kemudian hari.

Kalau susah menabung, setidaknya cermatlah berbelanja.

Jika Anda memang gemar berbelanja apalagi berbelanja online, saat ini sudah ada situs yang dapat menghemat pengeluaran belanja Anda dengan memberikan promo, diskon Cashback seperti ShopBack.co.id.

Cara ini memang tidak akan banyak mengubah gaya hidup konsumtif dan emotional spending Anda. Tapi setidaknya, Anda sudah berusaha mengurangi pengeluaran, kan?

Di era yang serba makin malah ini, kuncinya memang bagaimana bisa terus meningkatkan income; dan pada saat yang bersamaan juga makin cerdik dalam mengelola pengeluaran.

Earn more. Shop smartly. Live wisely.

Tulisan ini dibuat oleh Amelia Ayu Kinanti, Managing Editor layanan Hemat Belanja bernama SHOPBACK

Photo credit by : wallpapercrafts

27 thoughts on “Paradoks Kelam antara Nafsu Konsumtif dan Kondisi Keuangan yang Pas-pasan”

  1. Mungkin kita ingin hidup hemat, tapi ada resiko di cibir org lain : di bilang pelit.

    Lalu kita menjadi risih sehingga kita “terpaksa” mengikuti trend lingkungan.

    Yah pada akhirnya, semua itu hanyalah permainan Persepsi dan pola pikir.

    Tidak ada benar dan salah. Hidup hanyalah sebuah pilihan. maka dari itu, pilihlah yang terbaik “sesuai” dengan diri kita masing2.

    Regards,
    http://www.sonytrade.com
    Blog Belajar Trading Saham dan Forex TERBAIK dan BERGARANSI

  2. Esai yang mantap. Kondisi seperti diceritakan di atas merupakan salah satu bagian kecil dari kesalahan dalam memaknai dan mengelola kebahagiaan.

    Seseorang bebas memaknai kebahagiaan. Ukurannya pun bebas. Namun, kita bisa memilih untuk mendapatkan kebahagiaan tanpa merasa (seolah) dipaksa menjadi konsumtif.

    Jika harus menentukan pilihan agar tidak ketinggalan dalam banyak hal, pilihlah yang bijak untuk dirimu, keluarga, dan masa depan alam.

    salam hormat,
    Terimakasih

  3. Saya dan istri sedang getol menerapkan program Save Your Twenty. Memasukkan uang pecahan 20 ribu ke dalam celengan.

    Sebuah kebiasaan baru yang kami “paksakan”. Harapannya menjadi kebiasaan.

  4. Kalau saya, pakai cara ambil kredit dengan potong gaji di awal bulan.

    Kreditnya bukan konsumtif, pernah berupa rumah, dan sekarang tanah.

    Asal dihitung bahwa sisa dari potong gaji masih cukup buat biaya hidup.

    Alhamdulillah, meski di awal cukup berat, tapi sekarang sudah bisa adaptasi, dan udah jalan sekitar 5 tahunan.
    Salam.

  5. Bener banget, sebenarnya yang mesti dikontrol itu pola pikirnya dulu. Mau tips menabung atau menghematnya bagus sekalipun, kalau masih terjebak dalam persepsi “ikut-ikutan trend” ya tetap saja tidak bisa…

  6. Yap bener sekali mbak. makin banyak temen pengaruhnya besar. hidup ini dinamis & emang bergantung dg lingkungan sekitar.

    apalagi yg kerja kantoran ya. gengsinya gilak gede2an. hp aja ada yg pny lbh dari 1, 2. itu mau buat apa?

    ujung2nya cuma buat chating & socmed. harus pinter ngontrol nafsu. kalo ga, kita yg jadi budak nafsu ” sengsara “.

  7. Menabung memang sedikit susah diawalnya. Karena terbiasa dengan minimal saldo di tabungan. Bahkan, walaupun hanya tersisa Rp 50.000, pasti akan diambil.

    Dan akhirnya uang tersebut hanya untuk membeli cemilan yang kurang sehat.

    Sudah saya ubah kebiasaan itu menjadi kebiasaan untuk gemar menabung. Tujuannya untuk dana darurat.

  8. Yang akan selamat adalah yang pandai mendefinisikan mana keinginan dan yang mana kebutuhan. Kadang kita menyesal membeli barang karena seolah olah barang tersebut merupakan kebutuhan. Padahal ketika sampai di rumah langsung nge-bathin “Ngapain ya…beli yang beginian…?”

    Kebutuhan-pun seyogyanya kita dapat pertanyakan lagi mana yang urgent mana yang belum urgent.

    Mudah-mudahan kita menjadi orang yang pertengahan tidak pelit dan tidak pula boros dan rajin sedekah. Amiin….

    https://www.teknikpersinyalan.com

  9. piramida maslow benar sangat relevan sama kegalauan dalam tulisan ini yang ingin membongkar otak manusia dari kebiasaan buruk nya. Memang aktualisasi diri merupakan puncak dari semua Kebutuhan.

  10. saya sangat sepakat dengan penulis tentang budaya menabung. Karena tanpa menabung kita akan mudah tergoda pada fashion/gadget/dll.

    Oleh karena itu saya mewajibkan diri saya sendiri utk menyisihkan gaji saya (walaupun sebagian kecil) utk ditabung ke tabungan yang tidak bisa diambil.

    Thats Great Method…. for Me πŸ™‚

  11. Saya pernah dengar satu quote motivator yang mengatakan jangan pangkas pengeluaranmu tapi tingkatkan incomemu

    ini ada benarnya juga sesuai dengan artikel diatas semakin banyak pemasukan maka pengeluaranmu pun akan ikut terdorong

    anyway good artikel mas, thanks for your sharing

    Salam
    https://oleholehetam.com

  12. tetep aja mas susah yang namanya nabung tuh godaannya naudzubillah hikhik.

    Mungkin cara ampuh terakhir adalah menikah. dengan nikah kita jd punya manager keuangan (istri) dan tentunya akan semakin berfikir 2 x kalo2 ada setan godain belanja :v

  13. Biar teratur keuangannya ya harus punya porsi masing2, berapa untuk ditabung, berapa untuk belanja, berapa untuk sedekah, berapa untuk jalan2

    meskipun penghasilan pas2an tapi kalo di atur dg baik pasti akan cukup kok πŸ™‚

  14. Waduh ya gmana ya, klo udah liat barang bagus langsung keluar deh tuh sesuatu dari dompet. Pas udah sampe rumah “nyesel” gara2 ada keperluan yang lebih penting. Soo.. akhirnya dijual πŸ™ #pengalaman pribadi

Comments are closed.