
Selama lebih dari satu dekade, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil di kisaran 5%. Angka ini terlihat cukup baik dibanding banyak negara berkembang lain, namun di sisi lain, banyak pihak merasa kecewa.
Negara ini memiliki populasi besar, sumber daya alam melimpah, dan pasar domestik kuat — namun mengapa tidak bisa tumbuh 7–8% seperti impian banyak ekonom? Jawabannya kompleks, dan melibatkan kombinasi faktor struktural yang sudah berlangsung lama. Berikut lima penyebab utamanya.
Produktivitas yang Masih Rendah
Pertumbuhan tinggi hanya bisa dicapai bila produktivitas meningkat cepat. Sayangnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal jauh dari negara Asia Timur seperti Korea Selatan, Tiongkok, atau bahkan Malaysia.
Banyak pekerja masih berada di sektor informal dengan keterampilan rendah dan pendapatan kecil. Di sisi lain, adopsi teknologi di banyak industri masih lambat.
Perusahaan kecil jarang menggunakan sistem digital atau otomatisasi, sementara pendidikan vokasi dan pelatihan tenaga kerja belum mampu menjawab kebutuhan industri modern.
Akibatnya, output per pekerja tumbuh sangat lambat, sehingga ekonomi nasional sulit lepas dari level pertumbuhan 5%.
Infrastruktur dan Efisiensi Logistik
Meski pembangunan infrastruktur masif dilakukan dalam 10 tahun terakhir, biayanya masih tinggi dan konektivitas antarwilayah belum efisien.
Kawasan timur Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Jawa. Biaya logistik antar pulau bisa 2–3 kali lipat dari negara tetangga seperti Vietnam atau Thailand.
Kondisi ini membuat banyak industri enggan memperluas operasi ke luar Jawa. Distribusi barang lambat, biaya energi mahal, dan rantai pasok belum efisien.
Selama hambatan logistik dan infrastruktur ini belum tuntas, pertumbuhan ekonomi akan selalu tertahan di level menengah.
Investasi yang Belum Optimal
Untuk tumbuh 7–8%, Indonesia butuh lonjakan besar dalam investasi produktif — baik dari dalam negeri maupun asing.
Namun realitanya, iklim investasi masih menghadapi banyak hambatan: birokrasi rumit, kepastian hukum lemah, serta perizinan yang sering berubah.
Investor asing juga kerap menilai Indonesia kurang stabil secara kebijakan. Ketika satu regulasi berubah mendadak, proyek bisa tertunda atau batal.
Padahal, tanpa arus investasi yang kuat, kapasitas produksi sulit naik. Pabrik baru tidak tumbuh cepat, lapangan kerja terbatas, dan ekonomi pun berputar di lingkaran yang sama.
Kualitas SDM dan Inovasi Lemah
Ekonomi berbasis inovasi membutuhkan manusia yang kreatif, terampil, dan adaptif terhadap teknologi. Sayangnya, kualitas SDM Indonesia masih belum seimbang.
Banyak lulusan perguruan tinggi belum siap kerja, sementara riset dan inovasi industri masih minim. Kolaborasi antara universitas, pemerintah, dan sektor swasta juga lemah.
Negara seperti Korea Selatan atau Singapura tumbuh pesat karena menempatkan pendidikan dan riset sebagai pilar utama. Indonesia masih fokus pada pembangunan fisik, bukan pembangunan otak.
Selama inovasi belum jadi budaya, produktivitas dan daya saing global akan tetap stagnan.
Struktur Ekonomi yang Tidak Beranjak
Salah satu masalah mendasar adalah struktur ekonomi yang belum banyak berubah. Kontribusi sektor industri manufaktur — yang seharusnya jadi motor utama — justru stagnan di kisaran 18–19%.
Sebaliknya, sektor jasa tumbuh cepat tapi sebagian besar bernilai tambah rendah, seperti perdagangan dan transportasi.
Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah seperti batu bara, CPO, dan nikel juga membuat ekonomi mudah goyah saat harga dunia turun.
Tanpa transformasi industri menuju manufaktur berteknologi tinggi, pertumbuhan 7–8% hanya akan jadi mimpi di atas kertas.
Penutup: Butuh Reformasi Besar
Pertumbuhan 5% bukanlah bencana — tetapi juga bukan prestasi luar biasa bagi negara berpenduduk 280 juta jiwa.
Untuk menembus 7–8%, Indonesia harus berani melakukan reformasi besar: meningkatkan kualitas SDM, mempercepat digitalisasi industri, memperbaiki birokrasi, serta membangun infrastruktur yang lebih merata dan efisien.
Pertumbuhan tinggi tidak lahir dari kebetulan. Ia lahir dari produktivitas, inovasi, dan keberanian membuat perubahan mendasar. Selama hal-hal itu belum menjadi prioritas nyata, ekonomi Indonesia akan terus berputar di angka lima — stabil, tapi tidak melesat.

