Gerakan Membangun Kampung Halaman

Setiap tahun menjelang hari lebaran, sekitar 8 juta penduduk Jabodetabek (dan kota-kota besar lainnya) melakukan ritual tahunan yang penuh gemuruh : pulang mudik, pulang ke kampung halamannya. Dan setiap tahun pula, mendadak kota Jakarta menjadi lebih senyap, menjadi lebih longgar.

Kalau saja para pemudik itu tetap tinggal di kampung halaman selamanya, kota Jakarta (dan kota-kota besar lainnya) mungkin tidak terlalu letih menanggung beban. Sementara ribuan kampung halaman akan tetap semarak sepanjang tahun, memantulkan geliat ekonomi yang sumringah.

Namun sayang itu belum terjadi. Jutaan kaum urban itu – seperti syair dalam lagu Koes Plus – akan segera kembali ke ibukota Jakarta. Sebab disanalah mungkin harapan terus berkibar-kibar. Sebab disanalah, patung Selamat Datang di Bundaran HI terus melambai-lambai : menyambut sang pemudik untuk datang kembali.

Dan Jakarta kembali seperti semula : kian lelah menanggung beban, kian termehek-mehek menopang jutaan warganya. Continue reading “Gerakan Membangun Kampung Halaman”

An Inspiring Story for Your Personal Growth

Menganyam perubahan untuk menjadi insan yang lebih baik (a better person) mungkin sebuah kidung yang selalu ingin kita dendangkan dengan penuh kejernihan. Didalamnya ada berlarik tembang untuk mengajak kita menjadi insan yang lebih baik : menjadi lebih agamis, lebih sehat, lebih sejahtera, atau menjadi lebih berguna bagi sesama dan alam semesta. Siapa tidak ingin seperti itu?

Aih, aih, kalau saja langgam kehidupan bisa terus berputar indah semacam itu. Namun sialnya, syair perubahan justru sering bernada muram : kenapa kehidupan spiritual saya kok gitu-gitu saja, kenapa makin tua saya kok makin sering sakit-sakitan, dan kenapa sudah lama cari nafkah, kok tabungan saya ndak nambah-nambah, malah sering defisit?

Ya, kenapa dendang perubahan ke arah yang lebih baik acap menemui jalan yang terjal? Lalu bekal apa saja yang mesti dimasukkan dalam koper agar kita mampu melewati jalan yang berliku itu? Tulisan kali ini mau mengajak kita bertamasya dan menengok sejumlah bekal kunci yang kudu diracik kala kita mau menghidangkan sajian kehidupan yang lebih baik, yang lebih mak nyus. Continue reading “An Inspiring Story for Your Personal Growth”

3 Powerful Gadgets in My Professional Life

Gadget lifestyle. Itulah kini sebuah jargon yang menyeruak di setiap sudut perbincangan masyarakat kontemporer. Kata demi kata yang semerbak dengan aroma digital kemudian menelisip dalam relung hidup kita – deretan kata seperti : Smartphone. Android. Netbook. Tablet. LED TV. Kamera DSLR (terus terang saya ndak tahu apa artinya kamera jenis ini).

Sejatinya, kehidupan digital memang kian menanjak. Beragam model smartphone terus dihadirkan. Beragam jenis gadget juga terus bermunculan. Dan banyak profesional muda — entah pria atau wanita – yang kemudian menjadi addict dengan beragam gadget itu.

Kita mungkin juga menjadi bagian dari gadget lifetsyle itu. Lalu jenis gadget apa saja yang saat ini telah Anda miliki? Dan gadget apa yang kira-kira paling penting perannya dalam kehidupan profesional Anda yang terus berjalan? Kita akan menguliknya dalam tulisan kali ini. Continue reading “3 Powerful Gadgets in My Professional Life”

Pilot Mogok dan Kegagalan Manpower Planning

Minggu lalu, ratusan pilot Garuda Indonesia melakukan mogok kerja. Alasannya : gaji mereka yang besarnya 45 juta/bulan, lebih rendah dibanding pilot kontrak yang rata-rata adalah pilot asing (gaji pilot kontrak ini rata-rata 80-an juta per bulan). Para pilot Garuda itu minta agar gaji mereka disetarakan. Sebuah alasan yang menurut saya agak konyol : dalam industri airline, gaji pilot kontrak memang lebih tinggi sebab mereka TIDAK menerima pensiun dan tunjangan kesehatan seumur hidup (sebagaimana layaknya pilot tetap).

Permintaan para pilot Garuda itu juga menunjukkan mereka tidak pandai bersyukur dengan rezeki yang diberikan oleh Yang Memberi Hidup (gajinya sudah amat tinggi, masih minta naik lagi. Memang manusia itu tak pernah memiliki rasa puas).

Tapi ini yang penting secara filosofis : kalau mereka tidak puas dengan gaji yang sudah tinggi itu, mengapa mereka tidak pindah saja menjadi pilot maskapai asing atau bikin bisnis penerbangan sendiri? (honestly, saya alergi dengan kaum profesional yang complain too much. Ingat selalu prinsip ini : you determine your own destiny, not your boss or your company).

By the way, akar masalah dari kejadian pemogokan itu sejatinya adalah ini : negeri ini sangat kekurangan tenaga terlatih untuk menjadi pilot. Sebuah kasus yang dengan telak menunjukkan gagalnya proses manpower planning. Continue reading “Pilot Mogok dan Kegagalan Manpower Planning”

Apple University dan Corporate Learning Center

Namun Steve Jobs juga manusia. Ia kelak akan mati. Dan ia sadar itu, apalagi kini ia telah terserang penyakit kanker. Lalu, bagaimana nasib Apple sepeninggal sang maestro-nya? Apakah perusahaan itu akan tetap terus berdansa ketika sang dirigen telah tertidur lelap selamanya?

Pertanyaan itu acap hadir ketika sebuah perusahaan punya CEO atau leader yang melegenda. Kalau CEO-nya yang hebat telah pensiun atau too old, lalu apakah kinerja bisnis akan tetap cemerlang?

Steve Jobs mencoba menjawab pertanyaan itu dengan melaksanakan projek ambisius terakhirnya sebelum ia pensiun : yakni membangun Apple University.

Sejatinya upaya Apple membangun corporate university ini tergolong lambat. Banyak perusahaan global lain telah lama memilikinya, seperti GE, IBM dan juga Unilever. Steve Jobs sendiri selama ini lebih fokus pada inovasi pengembangan produk, serta “membajak dan meng-hire” personil-personil hebat dari luar Apple. Ia jarang melakukan upaya sistematis untuk mencetak dan mengembangkan future leaders Apple. Continue reading “Apple University dan Corporate Learning Center”

Mengelola Kinerja dengan Penilaian 360 Degree

Mengelola kinerja karyawan agar selalu tersaji prestasi yang bagus mungkin sebuah lelakon yang kudu dijalani dengan penuh kesungguhan. Disitu terbentang sebuah arena dimana benih-benih kinerja yang cemerlang selalu di-pahat. Disitu pula terbentang sebuah proses dimana kinerja dan kompetensi yang kurang mak nyus dibedah dan dipetakan solusi-nya.

Itulah kenapa ritual employee performance appraisal tahunan (atau semesteran) mestinya menjadi sebuah ritus yang dilakoni dengan bekal kecerdasan dan komitmen. Namun sayang, di banyak tempat, proses pengelolaan dan penilaian kinerja itu tak dijalankan dengan elok, dan akhirnya nyungsep hanya menjadi sekedar formalitas belaka. Doh.

Salah satu masalah yang acap muncul dalam proses performance appraisal adalah karena penilaian hanya dilakukan oleh atasan karyawan saja. Risikonya adalah jika sang atasan melakukan semacam “judgemental error” dalam penilaiannya, maka masa depan karir bawahannya bisa tenggelam dalam lorong panjang ketidakpastian. Continue reading “Mengelola Kinerja dengan Penilaian 360 Degree”

Lady Gaga, Anak Muda Jakarta dan Talent Story

Dalam dunia musik kontemporer, nama Lady Gaga mungkin telah menjelma menjadi semacam ikon yang mendunia. Tampilannya yang sensasional telah membikin ia menyeruak dalam panggung pop mondial : jutaan anak muda sejagat, mulai dari kota Paris hingga Manila, dari Madrid hingga Alabama selalu menunggu lagunya dengan pekik gembira.

Lalu, di sebuah sudut rumah yang sempit di daerah Pluit, Jakarta Utara, ada anak muda drop out SMA yang hobi membikin dan merancang busana. Beragam desain busananya yang jos markojos telah banyak membuat pemerhati fashion terpesona. Dan puncaknya mungkin selalu akan ia kenang. Lady Gaga memutuskan menggunakan salah satu rancangannya : membuat desain anak muda Jakarta itu sejajar dengan busana rancangan Versace dan Giorgio Armani.

Kisah anak muda jebolan SMA dari Pluit itu mendedahkan sebuah kisah penting tentang talenta. Tentang talent development. Dan kita akan mengunyah ceritanya pagi ini dengan penuh sukacita. Continue reading “Lady Gaga, Anak Muda Jakarta dan Talent Story”