Produktivitas karyawan sebuah perusahaan merupakan salah satu indikasi penting untuk melacak masa depan bisnis dan ekonomi. Produktivitas karyawan yang buruk dan termehek-mehek bisa membuat sebuah organisasi bisnis kian ketinggalan dalam deru pertumbuhan ekonomi global.
Dan data terbaru tentang produktivitas karyawan sedunia menunjukkan angka yang muram : secara rata-rata produktivitas karyawan Indonesia hanya 1/10 dari produktivitas karyawan Singapore.
Kenapa bisa demikian tinggi gap-nya? Dan apa yang kudu dilakoni untuk menipiskan gap tersebut? Di Senin pagi yang cerah ini, kita mau mengulik tema sentral tersebut. Sambil ditemani segelas air putih atau secangkir cappucino.
Cara yang lazim dilakukan untuk mengukur rata-rata tingkat produktivitas pekerja di sebuah negara sejatinya relatif simpel : total output ekonomi negara itu dibagi dengan jumlah total pekerja yang ada di negara tersebut.
Total output ekonomi Indonesia, lazim disebut juga dengan PDB (Produk Domestik Bruto) untuk tahun 2014 ini adalah sebesar Rp 10 ribu triliun. Angka yang masif sebenarnya; dan angka itu yang membuat size ekonomi negeri Indonesia saat ini berada pada peringkat 10 dunia.
Namun angka Rp 10 ribu triliun itu kemudian harus dibagi dengan jumlah total karyawan/pekerja yang ada di Indonesia, yang jumlahnya adalah 110 juta pekerja.
Maka angka rata-rata produktivitas karyawan/pekerja Indonesia untuk tahun 2014 adalah sekitar Rp 91 juta per tahun (Rp 10 ribu triliun dibagi 110 juta pekerja).
Untuk negara Singapore, rata-rata produktivitas pekerja mereka adalah sebesar Rp 1 milyar per tahun. Malaysia adalah Rp 350 juta per tahun. Dan Thailand sebesar Rp 175 juta per tahun.
Maka rata-rata produktivitas pekerja Indonesia (tentu termasuk Anda dan saya di dalamnya) hanya 1/10 dari pekerja Singapore. Dan 1/4 lebih rendah dibanding pekerja Malaysia.
Kenapa bisa begitu? Sederhana : sebab mayoritas pekerjaan yang ada di tanah air adalah “low level jobs” yang tidak memberikan “value added” yang tinggi.
Mayoritas pekerjaan yang ada di Indonesia adalah pekerjaan non-skilled jobs seperti buruh tani, tukang panen kelapa sawit, buruh kasar, tukang ketik, operator pabrik, dan sejenisnya.
Itulah juga yang menjelaskan kenapa tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMP hanya 4%, lulusan SMA 7% – jauh lebih rendah dibanding tingkat pengangguran lulusan S1 yang mencapai 11,7%.
Sebab ya itu tadi, mayoritas pekerjaan di tanah air hanya butuh lulusan SMA atau bahkan SMP. Tidak perlu lulusan S1. Maka kebanyakan lulusan S1 menganggur karena tidak tersedia cukup pekerjaan yang memadai buat mereka .
Yang kemudian sering terjadi adalah ini : overqualified person. Lulusan S1 hanya jadi supir taksi, atau satpam bank, atau sekedar jadi tukang ketik laporan buat bosnya di kantor (merangkap tukang fotokopi). #uhuk
Rata-rata angka produktivitas pekerja Indonesia yang hanya Rp 91 juta per tahun itu juga hanya 3 kali lipat total UMR setahun (UMR bulanan sebesar Rp 2,5 juta x 12 bulan = Rp 30 juta).
Idealnya, sebuah bisnis akan sehat jika angka produktivitas karyawannya 10 kali lipat dari biaya gaji/upah setahun. Maka jika UMR adalah Rp 30 juta setahun, idealnya rata-rata produktivitas pekerja Indonesia adalah Rp 300 juta per tahun (tiga kali lipat dari angka sekarang).
Bagaimana cara meningkatkan angka produktivitas pekerja tersebut? Solusi yang banyak dilakukan di berbagai negara (termasuk Malaysia) adalah : menyediakan lebih banyak high value added jobs.
Caranya adalah dengan membangun industri yang bisa memberikan nilai tambah lebih tinggi : contohnya tidak hanya ekspor kelapa sawit, tapi lebih baik produk turunannya seperti margarine, biofuel, dll (karena nilai tambahnya lebih tinggi). Tidak hanya ekspor ikan tuna mentah, namun sebaiknya yang sudah diolah dan diberi merk (sebab bisa memberikan margin yang jauh lebih tinggi).
Tumbuhnya industri dengan sentuhan modernisasi (value added process) akan membuat angka produktivitas pekerja naik melesat (sebab margin bisnis jauh lebih tinggi). Dan ini dia : industri ini juga akan mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai buat lulusan S1 dan D3 (skilled workers).
Dan dengan itu, kita tidak perlu lagi melihat lulusan S1 yang hanya jadi satpam bank, atau supir taksi, atau tukang ketik di kantor.
Mudah-mudahan Anda semua yang lulusan S1 tidak masuk dalam perangkap “overqualified people”. Mudah-mudahan saat ini Anda bekerja sesuai dengan level pendidikan yang Anda miliki.
Be productive. Be smart. Have a great week.
Photo credit by Wallpaper
wah ternyata karyawan juga perlu value added..
masih banyak yang harus dibenahi..
kita harus bisa mengejar ketrtinggalan ini!
So who’s job is it? Pemerintah, Pengusaha, atau?
Dari dulu ga abis pikir, kenapa Indonesia cuma bisa yang mentah-mentah aja produksinya. Kenapa mudah menyerah dan memberikan pada perusahaan asing untuk mengolah, kenapa ga usaha semaksimal mungkin (dalam hal ini tentu saja pemerintah) untuk mengolah SDA yang sangat kaya di negeri ‘tanah surga’ ini.
Sudah saatnya mengejar ketertinggalan
Nice info mas yodhia,kalau dibandingkan tiongkok atau india gimana yah
saya S1.
dan kayaknya tulisan ini mengena buat saya. lagian saya pikir, kalau lulus dari STMIK Komputer. Paling Paling juga nanti saya jadi tukang ketik ya pak. atau jadi petugas Bank yg notabene anak SMP juga bisa. terus buat apa dong cape cape S1 ya pak. bingung saya. ada pencerahan dan semangat yg mendalam ngga ya pak buat saya S1
Terimakasih pencerahannya pagi ini, sesegera mengkoreksi sendiri untuk bisa tampil lebih qualified dengan kreatifitas membangun value added.
awalnya saya hanya berfikir untuk membangun usaha yang padat karya. seperti garment – taskainspunbond.com. tetapi ternyata …
sekali lagi terimakasih Pak Yodh
Saya pikir qta mulai dari merubah perilaku kerja qta yang biasa saja menjadi perilaku ekstra.. tapi ada hal penting yang sulit untuk disangkal pengaruhnya.. kepemimpinan…
Bagaimana dgn birokrasi yg mempersulit investasi value added bisnis? Perijinan yg njilimet serta pos2 yg minta uang muka. Ini adalah faktor penghambat yg besar sekali….
Masalahnya bertambah bukan hanya over qualified, melainkan underpaid.
Banyak lulusan S-1, S-2, bahkan S-3, sudah bekerja di bidangnya, tetapi mendapatkan penghasilan yang relatif rendah daripada yang seharusnya.
Di sisi lain, banyak orang bekerja rangkap dan penghasilan sampingan yang terkadang lebih besar daripada penghasilan utamanya, tidak terdata.
Jadi, jika ukuran produktivitas adalah penghasilan, tampaknya hal itu dapat betul, tetapi dapat juga tidak pas betul.
Kuncinya pendidikan, isi bukan title. Tapi ya rapopo wong di Spore gak bisa nanem sawit ato nambang minyak…mereka harus kerja lbh keras sedangkan kita kerja nyantai aja bisa makan…Yang penting jgn sampai lepas kedaulatan negara!
Sebab-akibat dg upah buruh rendah..semoga ini jadi isu buat presiden yad dan cermin buat aktivis serikat buruh.., Nice-Info mas-Yod, trims.
menurut saya pribadi ada dua hal yang harus dilakukan. Dari pencari kerja sendiri dan dari pemerintah (pemegang kebijakan). Dari pencari kerja harus meningkatkan kualitas diri agar tidak kalah bersaing, dan tentu juga peran pemerintah juga penting sebagai pembuat kebijakan..
Trims Inspiratif banget Bang Yodh, pertanyaannya adalah, bagaimana penentuan job spesification yang “pas” dari setiap bidang kerja?, seorang supir Dirut perusahaan multinasional atau supir “presiden” tentu berbeda dengan maaf spesifikasi supir angkot? dan bagaimana grdasinya pada perusahaan korporasi?
satu lagi pertanyaan saya apakah ada perbedaan dengan konsep human capital dan employee productivity growth ?
trims penjelasannya
Semoga dengan kempimpinan yang baru di indonesia nanti bisa berdampak yang baik bagi perekonomian bangsa ini.
Nice article!
Sangat setuju, underpaid yang ada sekarang, lulusan S1 bahkan S2 tingkat penganggurannya tinggi. tidak ada jalan lain selain menciptakan kerja menjadi wirausaha yang notabene menurut statistik dari kadin populasinya di Indonesia hanya 0,8%(singapore 7%, denger2 katanya minimum satu negara harusnya 2% populasi pengusahanya dari total penduduk). orang2 di negeri kita menganggap remeh wirausaha, mereka lebih gengsi klo bekerja kantoran
Pencerahan yang supersekali di pagi yang indah ini.
Terlepas dari industri yg digeluti karyawan tersebut sarat value atau tidak, Saya lebih condong ke faktor karyawan itu sendiri yang akan menentukan pekerjaannya itu memiliki value tinggi atau tidak.
Mengacu pada ulasan Dan Pink di buku lawasnya ‘A Whole New Mind’ value dari sebuah pekerjaan akan terus meningkat seiring dengan tereduksinya repetisi-repetisi yg dilakukan.
Suatu pekerjaan yg bernilai value tinggi sekalipun akan stuck nilainya bahkan terus menurun ketika pola repetisi yg dilakukan sdh terbaca dan mudah diduplikasi.’Repetisi’ inilah comfort zone yg membuat seorang karyawan terjebak dan tenggelam dlm kenyamanannya.Inilah awak degradasi value dari pekerjaan itu sendiri.
Value akan terus naik ketika ada perbaruan yang kontinyu dan proses improvement yg tak pernah berhenti mengikuti pergeseran value itu sendiri.
Sebuah product mungkin bs sangat berharga di masa lalu. Namun bisa jadi sekarang sudah tidak memiliki nilai apa-apa.
Pattern recognition
Pattern repetition
Pattern co-creation
Added value tinggi = industri Pesawat terbang. Dibutuhkan mulai dari tukang sapu sampai lulusan S3. Cuma ya itu, pemimpin lebih suka impor produk luar negeri yang murah, contoh pesawat terbang. Padahal lokal bisa produksi/rakit dgn komponen lokal 50 persen. Lebih menguntungkan impor pesawat (contoh cina, tipe produk MA)karena COWAN- nya lebih gede, ketimbang beli ke PTDI.
Saya kira perlu juga dipertimbangkan PNS pada bidang2 tertentu (terutama di kategori PNS Kementrian) yang jelas2 sangat tidak produktif, yang menyebabkan angka produktifitas secara Nasional rendah. Namun pemerintah tetap harus terus merekrut PNS baru setiap tahun sebagai kewajiban negara untuk menyediakan lapangan kerja.
Kalau pengukuran ini dilakukan hanya terhadap karyawan swasta, saya yakin angkanya akan jauh lebih tinggi
bagaimana sektor UMKM bang yod?
Menurut saya hal ini penyebabnya adalah perbandingan jumlah entrepreneur dengan jumlah angkatan kerja yang tidak seimbang..
Jumlah entrepreneur indonesia relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja ..
Dengan begitu, maka pengusaha posisi tawarnya lebih tinggi dibandingkan pekerja..
Kalau pelamar kerja/pekerja menuntut upah lebih tinggi, pengusaha lebih banyak memilih mem-PHK karyawan bersangkutan, karena menurut mereka mencari pekerja dengan kualifikasi yang sama dan yang bersedia dibayar lebih murah gampang dicari di Indonesia..
Omy (13) : employee productivity adalah bagian dari human capital management.
Human capital management adalah ilmu ttg bagaimana membuat setiap SDM dlm perusahaan mampu bekerja secara ekselen (kompeten) dan memberikan result (produktivitas) yang optimal juga.
Menarik nih..
Kalo menurut saya ini berkaitan dengan sumber daya di negara kita yang melimpah, 😀
Daripada repot-repot mikirin bagaimana meningkatkan value suatu bahan, kelamaan bro.. mending ekspor langsung aja mentah2… dapet duit cepet gitu..
Kecuali negara kita berani membuat undang-undang yang sangat ketat, yakni kebanyakan material dari negara kita tidak boleh di ekspor mentah2 harus diolah dan diolah terlebih dahulu.. hehe..
Kualitas kita memang perlu ditingkatkan, dlm arti, kita semua perlu memantaskan diri untuk layak berada di lingkaran produktivitas tinggi.
Pemerintah yg lebih memahami, pengusahanya lebih inovatif, pekerjanya lebih punya keahlian n disiplin, maka produktivitasnya otomatis bakal naik.
Klo ditanya peningkatan tsb harus dimulai dari mana, tentunya dari atas duluan. So, pilpres ntar jgn salah contreng ya… hehe.
Mudah2an gak keteteran nanti AFTA dan AEC..
Kalo bisa jangan hanya bertahan terhadap gempuran produk dan SDM asing..
Pernaah terpikir untuk menyerang?
Kita punya kesempatan yang sama bukan??
Trimakasih atas pencerahannya pak. Menarik ini tema. Ijin share di fb saya. 😉
produktivitas karyawan indonesia apakah ada perubahan setelah dipimpin prabowo atau jokowi ????
300 juta per tahun? Berarti pendapatan harus 25 juta per bulan? Begitukah?
Kenapa bisa produktivitas SDM Indonesia 1/10 nya dari Singapure? Jawabnya alternatifnya:
1. terlalu banyak jabatan struktural dibandingkan jabatan fungsionalnya.
2. GDP=C+I+G+Net export, karena gaji sdm kita kecil, maka GDP kita kecil, bila dibagi dgn jumlah sdm kita.