GOTO Gojek x Tokopedia Rugi Rp 68 Triliun tapi Kenapa Mau Go Public?

Akhirnya, resmi GOTO atau kombinasi Gojek x Tokopedia akan melakukan IPO atau go public pada tanggal 4 April nanti.

Saham yang akan dijual hanya sekitar 4,3% (bukan 20%, 50% atau bahkan 100%). Dari penjualan 4,3% saham ini, target dana yang akan diraup adalah sekitar Rp 15 triliun.

Namun selama 4 tahun terakhir, kombinasi Gojek x Tokopedia sejatinya telah mengalami kerugian dalam jumlah yang amat masif, yakni Rp 68 triliun.

Kenapa rugi hingga Rp 68 riliun, tapi mau go public?

Ya benar, selama 4 tahun terakhir, kombinasi GOTO telah mengalami kerugian hingga Rp 68 TRILIUN. Data kerugian tiap tahunnya adalah sbb :

2018 – rugi Rp 12 triliun

2019 – rugi Rp 24 triliun

2020 – rugi Rp 16 triliun

2021 – estimasi rugi Rp 16 triliun.

Total kerugian selama 4 tahun = Rp 68 triliun.

Dari total kerugian itu, sumbangan kerugian Gojek sekitar 73% atau setara Rp 50 TRILIUN. Sementara selama 4 tahun, Tokopedia “hanya” rugi Rp 18 triliun.

Dari prospektus dan paparan rencana IPO, Tokopedia juga menyebut akan mulai mengalami laba bersih tahun 2025 sebesar Rp 2 triliunan. Sementara, Gojek sama sekali tidak menyebut kapan akan mulai meraih laba. Jalan masa depan Gojek masih amat terjal dan remang-remang.

Dari paparan prospektus, kita jadi tahu kenapa tahun lalu, Gojek merger dengan Tokopedia. Alasan merger ini mungkin sederhana : yakni jalan ninja keuangan untuk menyelamatkan Gojek dari kematian yang perih dan memilukan.

Saat merger, sejumlah analis tidak melihat urgensi kenapa mereka harus merger. Dari paparan informasi keuangan pra-IPO ini, tampaknya kita jadi tahu : Tokopedia telah ditabalkan untuk menjadi “dewi penyelamat” Gojek dari kebangkrutan.

Sebab jika Gojeka bangkrut, maka dunia investasi start up di tanah air akan sangat terpukul, dan tentu reputasi Mas Nadiem akan jatuh tepelanting.

Jadi kenapa mereka mau Go Public?

Jawabannya mungkin juga simpel : untuk memperpanjang nafas keuangan mereka, agar mampu berkelit dari lembah kematian yang selalu mengintai dengan brutal.

Kita tahu, selama usianya Gojek total telah mendapatkan pendanaan sekitar Rp 70 triliun. Sementara Tokopedia sekitar Rp 30 triliun. Total pendanaan Rp 100 triliun.

Namun seperti disebut di depan, selama 4 tahun, dana investor yang sudah dibakar (termasuk digunakan untuk menyuap Anda dalam bentuk cash back dan aneka promo) adalah Rp 68 triliun. Artinya sisa dana investor tinggal Rp 32 triliun.

Jika kerugian setahun sekitar Rp 16 triliun (seperti kejadian tahun 2020 dan 2021) maka hanya dalam 2 tahun, dana sisa investor itu akan habis.

Maka dana Go Public senilai Rp 15 triliun ini setidaknya bisa memperpanjang nafas mereka, meski sebenarnya angkanya kecil. Hanya dalam satu tahun, dana hasil IPO ini juga akan terbakar habis.

Kabar baiknya, Tokopedia menyebut mulai tahun 2025 sudah akan bisa meraih laba Rp 2 triliun.  Sementara sekali lagi, Gojek belum tahu kapan akan bisa meraih untung.

Harapannya, laba Tokopedia tahun 2025 itu bisa digunakan untuk mendapai operasional bisnis perusahanan; dan sekaligus subsidi silang bagi saudaranya Gojek yang mungkin tahun itu juga belum meraih keuntungan.

See, mas Nadiem mungkin harus ngajak makan malam Koh William Tanuwijaya dan bilang : kamsiah koh, you sudah ikut menyelamatkan Gojek.

So, what’s next?

Dari uraian di atas, kita cukup optimis dengan kinerja keuangan Tokopedia.

Ditengah gempuran brutal Shopee, Tokopedia ternyata masih bisa bertahan dan tetap menjadi leader dari sisi trafik (data terkini, Tokopedia dikunjungi 147 juta visitor perbulan, sementara Shopee sekitar 126 juta).

Harapannya, kinerja trafik Tokoedia yang makin mantap terus berlanjut; dan bisa bikin laba Tokopedia makin melesat : dari potensi laba Rp 2 triliun pada tahun 2025, menjadi Rp 10 triliun tahun 2030.

Lalu bagaimana dengan Gojek? Seperti ditulis di atas, kerugian Gojek selama 4 tahun adalah Rp 50 triliun.

(Sekadar perbandingan, kerugian GRAB tahun lalu juga sekitar Rp 50 triliun – artinya kerugian Grab selama SETAHUN sama tingginya dengan kerugian Gojek selama 4 tahun).

Tak ada cara lain, pelan-pelan mungkin Gojek harus berani menaikkan tarifnya hingga 50% dari harga sekarang. Lalu mulai hilangkan cash back dan aneka promo di Gojek/Gopay dan Gofood yang boros biaya.

Memang konsekuensinya bisa sangat negatif : sebagian besar pelanggan akan lari (dan mungkin ganti pakai Grab).

Tapi Gojek dan Grab harus sama-sama sadar : mereka sudah mulai kehabisan oksigen. Kerugian keduanya sudah sangat masif dan tak tertanggungkan. Kalau keduanya saling ngotot tak mau menaikkan harga, maka keduanya akan mati bersama pelan-pelan; dan tenggelam dalam ratapan kepedihan yang penuh duka.

Catatan terakhir. Timing IPO ini sejatinya lumayan buruk.

Kondisi market sedang sangat brutal bagi para tech start up. Dalam 6 bulan terakhir, harga saham Shopee (di bursa saham New York) kolaps 62%. Demikian juga, harga saham Grab hancur 60% hanya dalam 6 bulan. Harga saham Bukalapak juga ambyarrrr (pasca IPO harganya sudah jatuh 74%).

Dengan kondisi pasar yang sedang tidak ramah, maka harga saham GOTO pasca IPO bisa langsung anjlok.

Saya pribadi amat berharap, IPO GOTO ini bisa meraih sukses.

Bagaimanapun, Tokopedia dan Gojek telah berjasa amat banyak dalam memberi nafkah bagi jutaan keluarga di tanah air (bagi jutaan pelapak di Tokped, jutaan driver Gojek, dan jutaan UKM kuliner yang omzetnya naik pesat setelah bergabung dengan Gofood).

Harapannya, dengan sukses IPO ini, bisnis Gojek x Tokopedia bisa terus tumbuh, dan membersamai pencarian nafkah bagi jutaan manusia di dalamnya. Sebuah harapan yang rasanya layak diperjuangkan.

Namun melihat kondisi keuangan Gojek yang masih termehek-mehek, dan kondisi pasar yang sedang tidak ramah, mungkin harapan itu pada akhirnya akan kandas di tengah jalan, dan lenyap dalam buih fatamorgana yang kelam.