Pilot Mogok dan Kegagalan Manpower Planning

Minggu lalu, ratusan pilot Garuda Indonesia melakukan mogok kerja. Alasannya : gaji mereka yang besarnya 45 juta/bulan, lebih rendah dibanding pilot kontrak yang rata-rata adalah pilot asing (gaji pilot kontrak ini rata-rata 80-an juta per bulan). Para pilot Garuda itu minta agar gaji mereka disetarakan. Sebuah alasan yang menurut saya agak konyol : dalam industri airline, gaji pilot kontrak memang lebih tinggi sebab mereka TIDAK menerima pensiun dan tunjangan kesehatan seumur hidup (sebagaimana layaknya pilot tetap).

Permintaan para pilot Garuda itu juga menunjukkan mereka tidak pandai bersyukur dengan rezeki yang diberikan oleh Yang Memberi Hidup (gajinya sudah amat tinggi, masih minta naik lagi. Memang manusia itu tak pernah memiliki rasa puas).

Tapi ini yang penting secara filosofis : kalau mereka tidak puas dengan gaji yang sudah tinggi itu, mengapa mereka tidak pindah saja menjadi pilot maskapai asing atau bikin bisnis penerbangan sendiri? (honestly, saya alergi dengan kaum profesional yang complain too much. Ingat selalu prinsip ini : you determine your own destiny, not your boss or your company).

By the way, akar masalah dari kejadian pemogokan itu sejatinya adalah ini : negeri ini sangat kekurangan tenaga terlatih untuk menjadi pilot. Sebuah kasus yang dengan telak menunjukkan gagalnya proses manpower planning. Continue reading

Apple University dan Corporate Learning Center

Namun Steve Jobs juga manusia. Ia kelak akan mati. Dan ia sadar itu, apalagi kini ia telah terserang penyakit kanker. Lalu, bagaimana nasib Apple sepeninggal sang maestro-nya? Apakah perusahaan itu akan tetap terus berdansa ketika sang dirigen telah tertidur lelap selamanya?

Pertanyaan itu acap hadir ketika sebuah perusahaan punya CEO atau leader yang melegenda. Kalau CEO-nya yang hebat telah pensiun atau too old, lalu apakah kinerja bisnis akan tetap cemerlang?

Steve Jobs mencoba menjawab pertanyaan itu dengan melaksanakan projek ambisius terakhirnya sebelum ia pensiun : yakni membangun Apple University.

Sejatinya upaya Apple membangun corporate university ini tergolong lambat. Banyak perusahaan global lain telah lama memilikinya, seperti GE, IBM dan juga Unilever. Steve Jobs sendiri selama ini lebih fokus pada inovasi pengembangan produk, serta “membajak dan meng-hire” personil-personil hebat dari luar Apple. Ia jarang melakukan upaya sistematis untuk mencetak dan mengembangkan future leaders Apple. Continue reading

Mengelola Kinerja dengan Penilaian 360 Degree

Mengelola kinerja karyawan agar selalu tersaji prestasi yang bagus mungkin sebuah lelakon yang kudu dijalani dengan penuh kesungguhan. Disitu terbentang sebuah arena dimana benih-benih kinerja yang cemerlang selalu di-pahat. Disitu pula terbentang sebuah proses dimana kinerja dan kompetensi yang kurang mak nyus dibedah dan dipetakan solusi-nya.

Itulah kenapa ritual employee performance appraisal tahunan (atau semesteran) mestinya menjadi sebuah ritus yang dilakoni dengan bekal kecerdasan dan komitmen. Namun sayang, di banyak tempat, proses pengelolaan dan penilaian kinerja itu tak dijalankan dengan elok, dan akhirnya nyungsep hanya menjadi sekedar formalitas belaka. Doh.

Salah satu masalah yang acap muncul dalam proses performance appraisal adalah karena penilaian hanya dilakukan oleh atasan karyawan saja. Risikonya adalah jika sang atasan melakukan semacam “judgemental error” dalam penilaiannya, maka masa depan karir bawahannya bisa tenggelam dalam lorong panjang ketidakpastian. Continue reading

Lady Gaga, Anak Muda Jakarta dan Talent Story

Dalam dunia musik kontemporer, nama Lady Gaga mungkin telah menjelma menjadi semacam ikon yang mendunia. Tampilannya yang sensasional telah membikin ia menyeruak dalam panggung pop mondial : jutaan anak muda sejagat, mulai dari kota Paris hingga Manila, dari Madrid hingga Alabama selalu menunggu lagunya dengan pekik gembira.

Lalu, di sebuah sudut rumah yang sempit di daerah Pluit, Jakarta Utara, ada anak muda drop out SMA yang hobi membikin dan merancang busana. Beragam desain busananya yang jos markojos telah banyak membuat pemerhati fashion terpesona. Dan puncaknya mungkin selalu akan ia kenang. Lady Gaga memutuskan menggunakan salah satu rancangannya : membuat desain anak muda Jakarta itu sejajar dengan busana rancangan Versace dan Giorgio Armani.

Kisah anak muda jebolan SMA dari Pluit itu mendedahkan sebuah kisah penting tentang talenta. Tentang talent development. Dan kita akan mengunyah ceritanya pagi ini dengan penuh sukacita. Continue reading

Discovering True Happiness in Your Life

Pernikahan agung Den Bagus Mas William dan Mbak Kate itu memang terasa megah dan penuh denyut kebahagiaan. Banyak pihak bilang, momen-momen yang sarat kebahagiaan semacam itu acapkali diperlukan agar publik tak melulu dilanda kesenduan.

Dan pernikahan yang semarak memang salah satu event yang paling membahagiakan dalam kehidupan kita. Bagi Anda yang sudah pernah menikah, mungkin Anda masih terus terbayang dengan momen indah nan membahagiakan itu (kecuali tentu, jika biaya pernikahan Anda ditopang dengan utang dari kartu kredit).

Namun tentu saja pernikahan hanya sekali seumur hidup (mudah-mudahan demikian). Jadi kebahagiaan yang menggetarkan itu hanya kita rengkuh sekali seumur hidup; dan sesudah itu mungkin kita mesti melacak jejak kebahagiaan dalam aspek kehidupan lainnya.

Jadi dimana saja kita mestinya bisa memetik kepingan kebahagiaan dalam hidup kita? Continue reading

4 Jalan Rahasia Menuju The Joy of Success

Beberapa waktu lalu di blog ini telah diulas tentang pentingnya pendekatan strenghts-based orientation dalam merajut dan membentangkan hamparan kesuksesan. Itulah sebuah pendekatan yang selalu membujuk kita untuk fokus pada kekuatan positif dan success factors yang telah ada. Alih-alih mendedahkan terlalu banyak energi pada upaya mencari root cause of problems, pendekatan itu mengajak kita melacak root cause of sucess.

Sejatinya, dalam ranah ilmu perilaku, pendekatan itu acap juga dikenal dengan nama Appreciative Inquiry. Mulai dikembangkan pada tahun 90-an oleh paman David Cooperider, pendekatan ini mau mendorong kita untuk selalu membangun apresiasi (bukan berkeluh kesah) atas fitur kekuatan (strenghts) yang telah ada dalam diri kita – baik pada level personal ataupun organisasional.

Dalam pendekatan appreciative inquiry itu dikenal adanya empat fase kunci untuk menerapkannya : yakni fase Discover, Dream, Deliver and Destiny. Dalam tulisan kali ini, kita akan membahas empat fase ini dengan penuh kerenyahan, disertai dengan contoh/kasus nyata yang bersifat praktis. Continue reading