Berita di harian Kompas Minggu kemarin menyajikan dua informasi yang bersifat paradoks, dan mungkin saling melengkapi.
Yang pertama adalah kisah heroik diaspora pemuda-pemuda Lamongan ke segenap penjuru Nusantara. Yang satunya lagi iklan satu halaman penuh full color tentang kabar pendirian universitas baru, bernama Podomoro University.
Dua berita yang terkesan bersifat kontras itu sejatinya menyimpan sebuah pesan yang sama : tentang perjalanan panjang untuk mencetak kaum wirausaha yang tangguh.
Di pagi ini, sambil menikmati teh hangat, kita akan menjelajahi dua kisah itu.
Diaspora Lamongan adalah julukan bagi serbuan warung pecel lele dan soto Lamongan ke segenap penjuru nusantara. Entah di Jakarta, Surabaya, Medan bahkan hingga Ternate dan Papua, kita pasti akan melihat warung tenda khas Lamongan itu.
Diaspora soto Lamongan itu diam-diam telah membawa begitu banyak kejaiban ekonomi bagi para pelakunya, pemuda-pemuda yang datang dari desa udik di Lamongan sana.
Dalam liputan itu dikisahkan salah satu pelakunya, seorang pemuda bernama Afidz. Ia merantau ke Kalimantan untuk berjualan soto Lamongan.
Klik gambar untuk akses free KPI software.
Jualannya laris. Pemuda yang baru berusia 21 tahun ini akhirnya bisa membelikan tanah seharga Rp 400 juta buat ibu dikampungnya. Ia juga mampu membeli mobil Toyota Avanza. Sebuah prestasi ekonomi yang amat mengesankan karena ia juga hanya lulusan SMP di kampungnya (jadi kalau umur Anda sudah 30 tahun dan belum bisa beli tanah, cash, 400 juta; berarti Anda kalah dong ya dengan Afidz yang cuma lulusan SMP ini 🙂 )
Banyak pemuda Lamongan yang juga bernasib serupa dengan Afidz. Berjualan pecel lele khas Lamongan membuat mereka bisa mengangkat derajat ekonominya. Rumah-rumah di kampung mereka di Lamongan pelan-pelan berubah megah dan semarak.
Para pedagang soto Lamongan mungkin contoh entrepreneurs jalanan dalam arti sebenar-benarnya. Para pemuda Lamongan belajar menjadi saudagar soto yang sukses bukan dari seminar dan buku (atau apalagi dari tulisan di blog), namun dari tepi jalanan yang berdebu dan penuh gemuruh.
Merantau dan kemudian membuka warung soto Lamongan mungkin telah menjadi DNA atau tradisi yang mengakar bagi para pemuda kampungan itu. Insting berjualan pecel lele sudah menjadi tradisi.
Tanpa belajar ilmu entrepreneur yang ndakik-ndakik, setiap pemuda Lamongan tahu : mereka dilahirkan untuk menjadi pedagang pecel lele yang sukses.
Tradisi entrepreneurship a la Lamongan juga terjadi pada diaspora penjual Warteg, diaspora bakso Wonongiri, sate madura, dan tentu saja diaspora rumah makan padang.
Kisah entrepreneur jalanan itu memberi pesan yang layak dikenang : ilmu entrepreneurship mungkin lebih efektif dijalankan via “tradisi khas kampung” + praktek di tepi jalanan.
Maka kisah para entrepreneur a la pecel lele lamongan ini kontras dengan iklan pendirian kampus Podomoro University. Ini kampus yang baru berdiri, digagas oleh grup pengembang raksasa Agung Podomoro.
Seperti Universitas Ciputra yang amat fokus pada pendidikan jurusan Entrepreneurship, kampus Podomoro University itu bertekad mencetak para entrepreneur handal.
Tagline Podomoro University amat menggugah : “where future entrepreneurs begin”. Isi iklan Podomoro University jg keren : “Others teach you how to run a business. We teach you how to create one”.
Podomoro University tak tanggung-tanggung : ia menggandeng Babson College, USA, kampus entrepreneurship terbaik di dunia. Mereka juga menggander pakar bisnis top, Prof Rhenald Kasali.
Pertanyaannya : apakah Podomoro/Ciputra University akan lebih sukses mencetak entrepreneur dibanding “Lamongan University”?
Mungkin dua-duanya berperan secara simultan. Kampus seperti Ciputra dan Podomoro University bercita-cita mencetak entrepreneur via pendidikan yang sistematis dan fokus pada kreativitas.
Sementara Lamongan University bertekad mencetak barisan entrepreneur tangguh via keringat, debu jalanan, dan pecel lele yang gurih. Mereka bertekad untuk terus memproduksi ribuan enterpreneur jalanan, kelas kaki lima. Menjadi jutawan pecel lele.
Kedua-duanya sama dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi bisnis negeri ini. Kedua-duanya bisa menumpahkan limpahan kemakmuran bagi para pelakunya.
ada ayam bakar lamongan juga di deket asrama saya dulu. enak luar biasa. ngomong-ngomong, terima kasih artikelnya mas Yod
Sama2 calon entrepreneur tapi beda kelas…yg jelas warung pecel lele sering pakai trotoar dan bikin macet jalan…
Mas Yod, terima kasih untuk artikel pagi ini.
Very inspiring!!!
Pendidikan yang natural, nilai positifnya adalah akan mudah bangkit ketika badai ‘ekonomi’ menjadikannya terpuruk.
Menarik…
Entrepreneur bener2 mjd trend saat ini
Sepertinya keduanya bisa saling melengkapi.
Para entrepreneur Lamongan mungkin bisa dijadikan study kasus di Podomoro University sehingga para mahasiswa mendapat gambaran riil pengelolaan salah satu tipe UKM.
Sedangkan pihak Podomoro University bisa membantu memberikan pelatihan manajemen sehingga para entrepreneur Lamongan bisa lebih berkembang bahkan melejit dibanding sekarang.
Tulisan yang sangat inspiratif di senin pagi…
bacaan wajib di senin pagi 🙂
\
thx bang yod
tulisan penuh inspiratif
cuman ada hal yang dari dulu sampai sekarang belum pernah saya temukan jawabannya
kalau semua jadi enterpreneur, yang jadi karyawannya siapa ya?
kalau tidak ada karyawan bagaimana kita bisa berkembang dan bisa menciptakan ” faktor pengkali” nya ?
kalau bang yod ada waktu, mohon di tanggapi ya. sambil minum kopi tentunya. karena saya karyawan kapal api.hihihihi
Seharusnya universitas Podomoro bisa mencetak enterpreuner yg lebih hebat krn mahasiswanya dibekali dg berbagai konsep manajemen yg mutakhir. Tapi para pedagang lamongan merupakan entri point yg real yg bisa mendongkrak ekonomi kelas bawah menjadi lebih baik.
Soto surabaya gmn Pak? Ada ceritanya ga?
benar2 WOW !
Dengan begini seharusnya banyak calon pengusaha yang berani berpikir lebih maju dan jauh lagi dari hanya sekedar menunggu ilmu.
Pelajaran yang paling saya ingat adalah:
Pemimpin cuma beda satu huruf sama Pemimpi. Huruf N. Nyali.
Tanpa nyali, kuliah sampai surga pun nggak akan ketemu kata sukses.
Sekian. terima kasih Mas atas postingannya. 😀
Salam, Bali.
Adhi (9) : itu pertanyaan klasik yang sering diajukan para karyawan.
Sebenarnya, mau jadi wirausaha atau karyawan, sama-sama bagusnya. Masing2 punya kelebihan dan keterbatasannya.
HAnya memang kalau membaca studi ekstensif tentang proses penciptaan orang2 makmur, hampir semuanya merupakan pemilik bisnis (baik kelas UKM atau big companies).
Dari sisi financial dan kebebasan waktu, memiliki usaha sendiri lebih memberikan peluang untuk mencapainya.
Kembali ke pertanyaan klise tadi :
Kalau semua orang Indonesia jadi pengusaha, siapa yang jadi karyawannya?
SIMPEL jawabannya. Import tenaga kerja / buruh dari negara lain. Kalau ini yang terjadi, Indonesia akan jadi NEGARA HEBAT.
Jadi kalau SEMUA Orang Indonesia jadi pengusaha, Jangan KUATIR : kita masih punya STOK 7 Milyar penduduk dunia, yang bisa kita hire jadi karyawan.
Jadi kelak kita tidak hanya ekspor TKW/TKI, tapi JUSTRU kita yang import buruh dari negara-negara lain.
IQ?
Boleh ya ikutan nambahin uk kelengkapan artikel ini.
Untk perluasan cover diaspora disini, soto dan pecel lele lamongan juga sudah dibuka oleh pekerja tki lamongan di sejumlah kantong perkebunan sawit di malaysia. Jualan mereka laaris manis, pelangganya tdk saja tki tapi banyak eksekutif lokal perush sawit.
Sy pernah dengar sendiri dr satu eksekutif perush sawit papan atas Mly, ketika ketemu di Bali, dia penggemar pecel lele lamongan hingga sekarang.
Dia salut dg spirit entreprenuership tki asal lamonngan yg tdk puas hanya sekadar banting tulang jadi kuli di kebun sawit negeri tetangga.
Salam
Menggugah, inspiratif. Thanks so much
kalau pembaca blog ini, pernah berkunjung ke kios bubur kacan dan indomie rebus. Tanya dari mana mereka? jawabannya pasti dari Kuningan Jabar. Tukang cukur rambut, mereka menamakan “Cukur rambut asgar (asli garut)” dsb…pokoknya banyak deh. Mereka “berdiaspora” dengan membawa ciri khas daerah masing-masing.
Thanks mas Yodhia untuk artikelnya, inspiring banget! 😀
Sejujurnya saya gak tahu mau bilang apa, tapi yang jelas saya mendukung “dua” univeristas ini untuk menghasilkan entrepeneur kelas kakap.
Salam hangat!
aplikasi nyata yg tanpa teori terkadang lebih dahsyat hasilnya dibandingkan dengan segudang teori yang hanya memenuhi space di kepala kita
universtas lamongan contohnya dan masih banyak lagi enterprener2 lain yg terlahir dari derasnya dan kerasnya didikan di universits kehidupan…
thank mas yodia
sangat menggugah pak yod, salute bagi para enterpreneur otodidak yang telah banyak mengajarkan banyak hal
masih berusaha menjadi enterpreneur
https://mariodevan.com/
Top habis mereka para lamongan diaspora dan lainnya yang menerapkan tacit knowledge ilmu MM atau MBA tanpa pernah sekolah pendidikan s2
mereka punya courage luar biasa dan daya survival utk tetap bertahan dan hidup dalam persaingan enterpreneur luar biasa……
2 two tumb up
Sangat menginspirasi, saya masih belajar menjadi enterpreneur di bidang distributor jersey / kaos bola.
Mas Yod, saya mau bertanya :
Apakah kita bisa menjadi seorang enterpreneur, sedangkan latar belakang keluarga kita ( seumpamanya ) bukan dari kalangan enterpreneur? dengan kata lain kita tidak punya DNA enterpreneur.
Terimakasih.
**Jersey murah mulai Rp.30.000-an**
http://www.fadhlanjersey.blogspot.com
Very inspiring
Sulistyo (23) ya bisa saja dong….banyak contohnya. Anak pegawai bisa menjadi pengusaha sukses. Anak petani jadi saudagar top, dst.
Yang penting NIAT dan MINDSET Anda….juga SKILLS.
Majulah Enterpreneur Majulah Indonesia
artikelnya sangat menarik dan menggelitik, bung.
Brdagang mengundang uang unt datang dan berputar,mari kita putar uang orng melalui jiwajiwa dagang
ide artikel yang kerap ada di sekitar kita, namun seringkali luput dari perhatian. Padahal ini adalah topik yang menarik untuk dijadikan baha bacaan renyah. Luar biasa Pak Yodhia.
Tidak masalah pebisnis dilharikan dari jalanan ataupun dari universitas.
Yang penting kita nggak pernah berhenti belajar. 🙂
Khusus untuk kita pebisnis yg lahir di jalanan, akan sangat baik kalau kita terus melengkapi diri dg kemampuan baru… supaya bisa berpikir dan bertindak besar.
Barangkali suatu saat pecel lele, atau warteg kita bisa berskala global dan sampai ke Eropa sana. 😀
kupasan yang super keren. benar sekali yang sudah dipaparkan. Nggak hanya banyak kampus entrepreneur sih, simak aja sering kita jumpai sminar2 entreprener. yang superlucunya, pematerinya saja bukan seorang pebisnis.
Model lamongan university merupakan bahasa entreprener kerakyatan sejati. saya yakin akan lebih banyak mahasiswa lamongan yang jauh lebih berhasil daripada yang alumni sekolah sekolah bisnis itu. 🙂
@ Bang Yod
mantap luar bisa!!!!!!
thx atas balasannya bang yod
Hemat saya keduanya adalah aset masa depan kita. Start up business di LA (Lamongan) University didorong faktor keterbatasan ekonomi, martabat, dan keinginan mentas dari kemiskinan.
Target mereka sangat sederhana, yaitu survive secara ekonomi, mandiri, naik haji dan meningkatkan status.
Ini harus diduplikasi di banyak lapisan masyarakat dg tujuan meningkatkan kesejahteraan dan mentas kemiskinan. Mulai dari aset yg mereka punya, do the doable than push it.
Sesederhana itu, dan ga perlu belajar feasibility study, business model dsb.
Sedang untuk kampus model PODOMORO, UC justru diarahkan untuk membangun aset bangsa di masa depan bagaimana memaksimalkan inovasi, melaverage potensi bisnis, menajamkan aspek teknologi, memodelkan bisnis yg efektif.
Tujuannya sekali lagi tidak hanya urusan survive, cari makan, kaya, sukses, tetapi bagaimana bisnis mereka punya value, memberikan impact untuk banyak orang, menjadi solusi buat kelompok masyarakat miskin. Bukan malah berbisnis kuliner yg head to head dg pengusaha lamongan seperti di atas berebut pelanggan.
Saya optimis lewat pendidikan entrepreneur modern kita bisa agendakan misi social entrepreneur kepada anak2 muda kita, berbisnis sekaligus memberi dampak sosial dan menjadi aset bangsa