Kenapa Perusahaan Selalu Ragu “Me-Moyes-Kan” Karyawan Abal-abal?

Dunia bisnis manajemen mungkin layak belajar dari dunia sepakbola tentang satu tema krusial : key performance indicators.

Dalam dunia sepakbola, key performance indicator amat lugas dan terukur. Berapa skormu dalam klasemen. Performance scorecard yang sangat elegan, powerful dan mudah diukur. Saat skormu termehek-mehek, kamu akan terpelanting keluar arena. Kamu akan “di-Moyes-kan”.

Pertanyaannya : kenapa perusahaan selalu ragu untuk “me-Moyes-kan” karyawan abal-abal? Kenapa kisah pahit David Moyes yang di-pecat oleh sang raksasa yang terluka, Manchester United, jarang terjadi dalam dunia bisnis manajemen perusahaan?

Salah satu jawabannya adalah ini : sebab sebagian besar manajemen perusahaan atau organisasi tidak memiliki key performance indicators (KPI) yang jelas. Mereka tidak punya performance scorecard yang se-elegan dalam klasemen sepakbola.

Tanpa KPI yang jelas dan terukur, perusahaan tidak akan pernah bisa benar-benar obyektif dalam mengukur kinerja karyawan dan manajernya. Dan ini bisa berakibat fatal.

Kenapa bisa fatal? Sebab tanpa performance scorecard yang jelas, karyawan atau manajer abal-abal bisa terus dipromosikan (semata karena mereka pintar blah-blah-blah). Sebaliknya karyawan atau manajer potensial bisa terpelanting, sebab results mereka tidak pernah tertangkap oleh manajemen melalui sistem KPI yang obyektif.

Tanpa KPI yang jelas, manajer dan karyawan abal-abal bisa terus survive berlindung dibalik sistem penilaian kinerja yang kabur dan penuh subyektivitas. Di sana hampir tak akan pernah terjadi proses “Moyenisasi” – saat karyawan berkinerja buruk dipecat dan dibuang ke pinggir arena.

Tanpa performance scorecard yang terukur, karyawan dan manajer abal-abal bisa terus survive; dan suatu saat bisa membuat kinerja bisnis kolaps. Sebab kita tahu, membiarkan karyawan dan manajer yang tidak perform dalam sebuah organisasi ibarat menebar benih kehancuran di kemudian hari.

Kita harus selalu ingat prinsip “social proof” : perilaku itu mudah menular, termasuk perilaku yang buruk. Karyawan dan manajer yang performa-nya abal-abal dengan mudah bisa menularkan perilakunya kepada puluhan bahkan ratusan karyawan lainnya.

Klik gambar di bawah untuk mendapatkan materinya secara gratis!!

Dan persis “bad corporate culture” lahir dari proses semacam itu. Saat perilaku disfungsional merebak bagaikan virus. Complainers attract complainers. Poor performers attract poor performers.

Jim Collins dalam masterpiecenya menulis : perusahaan bisa menjadi legenda karena mereka dengan mudah “me-moyes-kan” karyawan dan manajernya yang abal-abal. Sebab ya itu tadi, mereka sudah punya performance scorecard yang seindah klasemen sepakbola.

Dengan key performance indicators yang terukur, tak ada lagi ruang untuk like and dislike. Sebab “the numbers speak for themselves”. No hurt feeling, bahkan saat surat demosi atau PHK itu diberikan. Sebab semua bersandar pada skor dalam klasemen kinerja bisnis.

Dilatari oleh situasi seperti diatas, mungkin sudah saatnya disusun sistem performance scorecard atau KPI secara sistematis (tertutama bagi yang sama sekali belum memilikinya. Organisasi pemerintahan mungkin mendesak untuk memiliki sistem KPI supaya kinerja organisasi mereka bisa lebih optimal).

Berdasar sejumlah observasi, penerapan manajemen kinerja berbasis KPI ini lebih baik jika dilakukan secara bertahap, mulai dari level direktur hingga manajer dulu (menerapkan KPI secara serentak hingga ke level staf seringkali menimbulkan komplikasi).

Yang lebih penting sebenarnya adalah bahwa setiap KPI yang ada benar-benar dipantau dan diukur secara konsisten.

Suatu saat saya melihat TV di kantor klien saya; dan yang ditayangkan dalam layar TV itu adalah Performance Scorecard dari setiap divisi yang ada dalam dalam perusahaan itu. Persis seperti daftar klasemen sepakbola, lengkap dengan warna hijau, kuning dan merah (jika angka skor buruk).

Pada akhirnya, peristiwa pemecatan David Moyes ini mestinya mengingatkan kita akan sebuah slogan yang powerful : either you perform or quit.

Jika Anda merasa kinerja Anda abal-abal tapi terus bertahan bekerja di kantormu, maka – sorry to say — sejatinya Anda adalah benalu yang pelan-pelan akan menghancurkan kinerja kantormu di masa depan.

Selamat bekerja teman. Mudah-mudahan kelak Anda akan dikenang seperti Sir Alex Ferguson. Bukan seperti David Moyes.

Photo credit by : Wallpaperso

~~~~
Note : Minggu depan atau tanggal 7 Mei 2014 saya akan men-deliver seminar publik tentang Employee Performance Scorecard. Jika Anda ingin mendaftar seminar dengan tema yang menarik ini, silakan KLIK DISINI.

Klik gambar di bawah untuk dapatkan GRATIS 7 buku yang amazing !!

28 comments on “Kenapa Perusahaan Selalu Ragu “Me-Moyes-Kan” Karyawan Abal-abal?
  1. Wah dahsyat tuh kalau bisa diterapkan dlm Parpol, salah satu capres terfavorit dlm survei bisa di-moyes-kan, krn nggak ngefek……..hehehe

  2. Ada pendekatan 4 kuadran dalam mengelompokkan karyawan.

    Kuadran ini dibentuk oleh 2 sumbu. Sumbu X adalah kinerja dari jumlah penjualan “Those Who Create numbers”, dan sumbu Y adalah Kinerja dari membagikan nilai-nilai baik “Those Who Sharing Values” (integritas, semangat, jujur, persistence/tahan banting,humble, etika).

    Orang-orang di kuadran 1 (numbersnya kecil, dan mereka tidak mau sharing value), mereka inilah yang paling pantas untuk cepat di-Moyes-kan, selanjutnya orang-orang yang menghasilkan banyak numbers (penjualan), BUT mengHalalkan segala cara, dan memiliki karakter buruk (no sharing values) seringkali menjadi hal SULIT untuk diputuskan oleh pihak pimpinan perusahaan, apakah di-Moyes-kan atau dipertahankan.

    Namun SEBENARNYA apabila dipertahankanpun orang-orang dikuadran ini tidak akan memberikan kontribusi yang panjang, bahkan dalam tempo singkat cenderung membawa citra buruk bagi perusahaan.

    Berikutnya adalah, Orang-orang di kuadran 3, yakni yang jumlah penjualannya (numbersnya) tidak banyak namun dia suka membagikan/menularkan values yang BAIK, mereka ini sebenarnya layak dipertahankan oleh perusahaan karena lambat laun mereka akan menghasilkan numbers yang banyak, dan bersifat longterm.

    Terakhir, adalah kelompok Orang-orang di kuadran 4, mereka ini dinamakan STARS, karena mereka creating a lot of number DAN gemar sharing good values.

    Merekalah yang pantas dijaga dan dirawat oleh perusahaan.

    Demikian sedikit sharing yang saya dapatkan dari seorang CEO GE Indonesia @HandryGE

  3. Dear pak Yodh

    Assalamualaikum wr. wb
    Kali ini saya kurang begitu setuju dengan tulisan bapak, kalau menurut saya ini semakin memperlihatkan bahwa perusahaan hanya benar2 bersifat Pure Money Oriented, justru ini akan membuat karyawan semakin tidak produktif dan akan segera kehilangan karyawan karyawan yang potensial, kenapa?

    karena menurut saya karyawan tidak pernah mengalami perasaan tenang dalam bekerja, beberapa waktu lalu saya menonton film The Reid 2 mungkin bapak juga menonton, dalam organisasi mafia sering kali mereka dengan mudah “membunuh” anggotanya karean hal hal sepele, dan juga kesalahan kecil, hal ini juga akan terjadi di perusahaan jika KPI tidak seelegan dan seobyektif seperti yang bapak sampaikan

    saya sangat sepakat dengan komentar Bapak Iwan, karena kita masih tinggal di Indonesia kita juga memiliki ikatan persaudaraan yang kuat sesama karyawan, dan erlu juga di pertimbangkan loyalitas, dan historical pekerjaan dida sebelumnya.

    jadi bener2 tidak berupa angka angka obyektif yang menggambarkan “revenue” perusahaan dari “orang tersebut”

    Demikian pak sedikit sharing dari saya . Terima kasih

  4. Mas mau nanya kenapa penerapan manajemen kinerja berbasis KPI ini lebih baik jika dilakukan secara bertahap? di lembaga tempat saya bekerja sedang/akan menggunakan KPI untuk penilaian prestasi kerja. Terima kasih atas jawabannya

  5. apa yang di katakan Bapak Iwan sangat setuju sekali saya. jangan sampai salah “memoyeskan” orang hanya karena berpatokan kepada KPI tanpa memperhatikan faktor lain. Perusahaan akan rugi besar jika karyawan yang di pecat menjadi besar di perusahaan kompetitor.

  6. Saya pribadi setuju KPI digunakan sebagai alat ukur, namun tentunya disesuaikan dengan budaya pemberdayaan/pembinaan dengan memberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik serta memperhatikan karakter (bila karakter buruk seperti pembahasan dari mas Iwan di atas), bila tidak ada perubahan sesuai dengan batas waktu yang diberikan karyawan/atasan tersebut layak di-“moyes”-kan.

    Oh ya yang terpenting apakah semua anggota TEAM perusahaan sudah benar-benar paham cara membuat dan prosedur menerapkan KPI dengan sebenarnya, karena ini juga dapat menjadi sumber kekacauan.

  7. mantap ulasannya, ini yang bikin banyak karyawan hebat gagal dan memilih pergi, karena penilaian hanya berdasarkan like dan dislike, keluarga dan bukan keluarga, relasi dan lain-lain

  8. Fakta bhw generasi Y skrg ini musti diberi KPI dan harus jg dijelaskan maksud & objective dr KPI tsb sehingga secara sadar akan tercipta self of belonging thd pekeejaanya dan companynya. Jk generasinya tdk jg sadar ya musti diPAKSA u/ sadar.

  9. Mohon maaf Mas Yod,

    Secara umum saya sependapat bahwa Performance Scorecard/KPI yg sistematis akan sangat membantu Perusahaan dalam menilai karyawan.
    Hanya saja contoh yg mas Yod sertakan kurang sesuai ..

    Menurut saya mapping posisi antara Moyes vs Karyawan/Pekerja adalah tidak tepat. Didalam perusahaan, posisi Moyes lebih tepat jika disetarakan dengan Posisi Direktur yang memiliki kewenangan penuh mengatur strategi permainan/perusahaan, siapa yg akan dimainkan/dipekerjakan, siapa yg akan direkrut dst ..

    Pegawai didalam perusahaan lebih tepat jika disetarakan dengan pemain dalam sepak bola.

    – Moyes gagal memenuhi target/KPI shg dipecat oleh Pemilik Klub.

    Direktur juga akan dipecat oleh Pemilik Persh melalui RUPS jika dinilai gagal.

    – Belum ada pemain bola yg dipecat gara2 gagal memenuhi ekspektasi (yg ada hanya dicadangkan dan dimasukkan daftar jual dlm bursa transfer, kalau tidak ada yg mau beli ya terus makan gaji buta sampai kontraknya habis)

    – Demikian juga dg pegawai, perusahaan hanya bisa ‘meminggirkan’ pegawai yg dinilai tidak memberikan kontribusi dan terpaksa harus terus memberikan gaji, sampai ybs pensiun atau resign dg sendirinya karena tidak nyaman.

    So, dalam konteks pegawai, saya rasa penentuan KPI yg sistematis perlu dikombinasikan dg sistem Reward & Punishment yang atractive sbg salah satu faktor pemicu dan pemacu kontribusi pekerja kepada perusahaan ( tentunya hal ini juga selalu menjadi PR besar perusahaan utk dapat menemukan formula yg paling mujarab ).

  10. Memang pahit tapi itu memang realitanya. Kalau gak mau dimoyes kan silahkan bikin saja perusahaan sendiri.

  11. perlu disimak, mengimplementasikan KPI ini memang tidak mudah, karena pada dasarnya mengakui ‘kelemahan’diri sendiri memang suatu aib, ya nggak Pak Yodh?

  12. Dear pak Yod,

    Saya setuju kalau KPI itu diterapkan dengan baik diPerusahaan, tetapi perlu diingat jangan sampai tidak memperhatikan budaya yang ada diperusahaan, karena kalau hal ini tidak dilihat maka akan terjadi ketidak nyamanan di dalam bekerja yang berakibat fatal pak Yod. Terima kasih

  13. Firmand (6) : menyusun KPI dan memantau secara konsisten butuh ketekunan; kadang ketekunan ini yang sulit dibangun.

    Untuk itu, sebaiknya bertahap dulu. Kalau di level Direktur/Manajer sudah lancar dan terbiasa, baru diturunkan ke level staf.

    Sebb di level manajer saja, kalau tidak tekun dan cermat, penerapan KPI acapkali tersendat sendat.

  14. Mas yodhia..

    sangat menarik membaca arrikel ini.
    Selain kita semua melihat ke sudut moyes, saya malah mempertanyakan apakah ada konspirasi para pemain untuk menjatuhkan moyes dengan cara perform jelek karena pada dasranya mereka ga suka dipimpin moyes.
    nah….Knapa kita ga bisa ya jadi pemain pemain itu apabila ga suka sama bos?

  15. Klo perusahaan selalu ragu memecat, mungkin mereka jg ga pernah yakin menempatkan orang yg tepat di posisi yg tepat. Mungkin sebelum memecat, ada baiknya perlu rotasi atau turun jabatan dulu. Klo misal mentok2nya jadi OB bikin kopi aja nggak enak, ya sudahlah. Pecat aja, hehe.

  16. beberapa hari kemarin Manajer HRD di tempat kerja saya, melakukan tes untuk perubahan status kepegawaian.

    Menurut analisis saya dan beberapa rekan pegawai, cara yang dilakukan manajer HRD kurang elegan dan terkesan terburu-buru.

    Masa perubahan status kepegawaian hanya lewat tes tulis dan wawancara,tidak disertai dengan evaluasi kinerja berbasis KPI. Saya lihat proses kemarin sangat tidak obyektif.

    Setelah saya pelajari KPI,memang sangat membantu manajer dan juga pewagai untuk mengetahui performancenya…

  17. Kalau mau bicara soal pemecatan David Moyes,itu dikarenakan Moyes menjadi manager Manchester United (MU) disaat MU sudah mencapai prestasi yang membanggakan setelah diarsitek oleh Sir Alex Ferguson.

    Tapi ada hal penting yang harus di ingat pada Tahun 1986-1990, dikala itu MU hanya dipandang sebelah mata pada saat Sir AF yang menangani,butuh skitar 5 tahun MU harus bangkit, dan Management MU tetap mempercayai Sir AF sampai masa kejayaan.

    Hanya saja Sir AF memutuskan untuk pensiun dari MU yang sekarang adalah tim Juara, dan seorang David Moyes lah yang harus menanggung beban dan target yang besar yang ditinggalkan oleh Sir AF.

    Maka wajar saja jika MU memecat Moyes.

    Tapi case tsb jangan disamakan dengan karyawan, karena sama halnya Sir AF yang dipercaya oleh management sampai masa kejayaan kurang lebih 5 tahun, begitu pula karyawan, mungkin ada beberapa karyawan yang bekerja abal2 disebabkan ketidakadilan yang oleh Pemimpin/management perusahaan, yang berakibat demotivasi kerja.

    Jadi sebaiknya seiring KPI diterapkan dari top management, hendaknya dilakukan pembenahan sistem yang dapat memuaskan banyak karyawan dan sikap juga karakter yang baik agar dapat dicontoh oleh karyawan.

  18. emang bener pak yodhia , kalau karyawan abal-abal harus segera diganti istilahnya di recycle biar kinerjanya gak rugi . perlu banget ketegasan di negara tercinta kita ini

Comments are closed.